JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar Rapat Kerja bersama Komite I DPD RI, Senin (24/9/2018). Salah satu yang menjadi topik dalam raker ini adalah pemberlakukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Ketua Komite I DPD RI, Benny Ramdhani menyebut dalam persoalan ini KPU cenderung gegabah dan ceroboh.

"Soal PKPU 26, KPU gegabah dan ceroboh harusnya tidak memberlakukannya di 2019 tapi di 2024," katanya usai Raker di Gedung DPD.

Ia menjelaskan, dalam raker tadi Komisioner KPU Hasyim Ashari sendiri sempat menunjukkan gestur ketidaksetujuan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini.

"Tadi Hasim Ashari sebenarnya terlihat terganggu dengan putusan MK ini. Sebagai dosen hukum tata negara, dia bilang apapun yang di JC, baik norma atau ayat itu harusnya perintahnya revisi UU. Siapa yang punya hak revisi auau? Ya DPR. Tapi mau tidak mau KPU sudah memerintahkan yah dijalankan," paparnya.

Ia menjelaskan, setelah PKPU ditetapkan sudah masuk ke ranah gugatan PKPU ke MA. Sedangkang terkait putusan MK sendiri, ia menilai bukannlah sebuah putusan yang absolut.

"Kalau PKPU sudah terbit ranahnya lakukan gugatan PKPU melalui MA. Terkait putusan MK sendiri, MK ini bukan diisi para malaikat, maka setiap putusan tidak absolut, selalu benar dan dijadikan landasan sebuah kebenaran. Apalagi MK ini lembaga negara tanpa lembaga kontrol. Yang bisa awasi itu Dewan etik yang dibangun oleh MK sendiri," paparnya.

"Dulu jaman SBY dia keluarkan Perpu soal KY yang awasi MK dan ditolak. DPR juga pernah revisi UU tentang MK, dua hal paling prinsip yang dimuat adalah rekrutmen hakim dan pengawasan. Tapi dibatalkan sama MK. MK jadi lembaga besar yang punya potensi abuse of power. Mereka bukan diisi para malaikat, mereka bisa salah keliru dan khilaf apalagi tidak punya pengawas. Contohnya Ketua MK Akil Mochtar pun terlibat dalam kejahatan korupsi," sambungnya.

Ia juga menilai, putusan MK ke 30 sangat tercium dan diduga kuat ada aroma politik seolah dipaksa larena motif dan target politik.

"Putusan MK itu asas prinsipnya hanya menilai masalah normatif tidak boleh praktis atau teknis. Dia hanya bisa bilang UU ini tidak sesuai konstitusi. Tapi ini ada di poin menimbang 3.17. Lembaga negara tak bisa memerintah dan mengintervensi lembaga lain. Di poin itu ia memerintahkan KPU lagi. Dia perintah lembaga lain," jelasnya.

"Ketiga putusan MK itu diberkakukan oleh MK secara retroaktif padahal MK itu harus progresif. Kenapa kami nilai retro karena ini diterapkan di 2019 dimana sudah berjalan prosesnya. Harusnya di 2024. Ini berdampak pada hak politik warga negara. Ini ibarat main bola, udah kick off, tiba-tiba wasit menyatakan udah ada peraturan baru. Itu gmana?" sambungnya.

Ia pun mengaku DPD akan menggunakan hak politik untuk melaporkan ke Dewan Etik MK. Selain yang yang diketahui Komite I DPD pasti akan ada pihak lain akan melaporkan hal yang sama.

"Ini kita akan lapor ke Dewan etik. Walau banyak pihak pesimis terhadap Dewan Etik. Tapi tetap harus dilakukan karena sesuai mekanisme. Soal dugaan ada motif dan target poltik dan sebagainya itu jadi tugas dewan etik memutuskan. Tapi kalau itu terbukti jadi miris, lembaga Konstitusi buat 'kejaharan' terhadap konstitusi," pungkasnya.***