CHANGZHOU - Perjuangan Anthony Sinisuka Ginting menuju podium juara China Open 2018 tidaklah mudah. Ia harus melewati sejumlah rintangan berat sejak babak pertama. Sebagai pemain yang tak diunggulkan di turnamen level Super 1000 ini, wajar jika Anthony harus bertemu para unggulan di babak awal.

Di babak pertama, ia sudah harus menghadapi Lin Dan, peraih medali emas Olimpiade Beijing 2008 dan Olimpiade London 2012. Anthony meraih kemenangan atas Lin dengan permainan tiga game, 22-24, 21-5, 21-19. Pemain rangking satu Viktor Axelsen dari Denmark menjadi lawan Anthony di babak kedua, Anthony pun bisa mengatasi rintangan ini, ia menang straight game dengan skor 21-18, 21-17.

Lepas dari Axelsen, Anthony sudah ditunggu Chen Long, pemain tuan rumah yang merupakan peraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2018. Anthony menaklukkan Chen dengan skor 18-21, 22-20, 21-16. Di semifinal, Anthony membalas kekalahannya atas Chou Tien Chen (Taiwan), di semifinal Asian Games 2018. Kali ini Anthony membungkam Chen dengan skor 12-21, 21-17, 21-15.

Partai puncak pun tak lantas mudah bagi Anthony. Ia mesti berhadapan dengan Kento Momota, sang Juara Dunia 2018 yang permainannya tengah menanjak. Anthony ternyata berhasil mengatasi Momota dengan dua game langsung, 23-21, 21-19.

"Saya bersyukur bisa melewati undian yang berat, kuncinya ya saya cuma berusaha, nggak terbebani. Waktu draw keluar, saya cuma melihat siapa lawan saya di babak pertama, itu saja. Makanya kalau ditanya, peluang lawan si A si B di perempat final, semifinal, saya tidak tahu, karena saya tidak perhatikan sampai ke sana. Saya fokus pada lawan yang akan saya hadapi besok," ujar Anthony kepada Badmintonindonesia.org.

Di Asian Games 2018, media asing menjuluki pemain jebolan klub SGS PLN Bandung ini dengan sebutan "The Giant Killer" karena ia berhasil meruntuhkan pemain-pemain unggulan. Di turnamen ini, Anthony kembali melakukan hal yang sama untuk menepis keraguan orang akan capaiannnya di turnamen ini dengan hasil undian 'neraka'.

Namun sebelum partai final, ia menyebutkan bahwa apa yang diraihnya di turnamen ini belumlah lengkap, karena ia masih harus berhadapan dengan Momota di final.

"Sekarang baru beda rasanya, saya merasa senang karena mendapat gelar di turnamen level Super 1000 pertama saya, dan saya merasa perjuangan di turnamen ini komplit karena saya bisa keluar sebagai juaranya. Bukan cuma mengalahkan unggulan saja," ucap Anthony.

Menjawab pertanyaan banyak orang mengenai grafik penampilannya yang menanjak, Anthony menyebutkan bahwa ia memang belajar banyak hal demi meningkatkan performanya. Anthony memetik banyak pelajaran dari ajang Asian Games 2018, dimana ia meraih medali perunggu di perorangan, dan medali perak bersama tim beregu putra.

"Hal paling penting yang saya pelajari adalah dari Asian Games kemarin, saya mencoba untuk lebih menikmati permainan saya di lapangan. Kalau dari segi persiapan, yang paling berpengaruh adalah soal fisik saya. Kita tidak tahu bagaimana hasil undian kita di sebuah turnamen, jadi kalau dapat lawan yang berat terus, harus punya fisik yang prima untuk bisa sampai ke final dan juara," tutur Anthony.

Dengan hasil ini, Anthony menjadi salah satu penakluk turnamen level 1000 di tahun ini. Hanya ada 3 turnamen level 1000 setiap tahunnya yang diselenggarakan di Tiongkok, Indonesia dan di Inggris (All England). Shi Yuqi dari Tiongkok menjadi peraih gelar All England 2018. Sedangkan titel Blibli Indonesia Open 2018 direbut Momota. Anthony menjadi salah satu dari deretan pemain muda yang disebut generasi baru di tunggal putra yang perlahan mulai menggeser eksistensi para senior seperti Lin Dan, Chen Long dan Lee Chong Wei.

"Eranya Ginting? Mungkin belum ya, nanti kalau saya sudah bisa konsisten, mungkin bisa. Soal komentar mengenai saya adalah salah satu pemain yang paling bertalenta, saya ucapkan terima kasih, saya tidak tahu mengomentari ini, biar orang yang menilai. Generasi muda tunggal putra saat ini banyak sekali yang bagus, Momota, Axelsen, Shi Yuqi dan masih banyak lagi," sebut Anthony. *