JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menuntut pemerintah agar menghentikan Poyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, karena akan menimbulkan kerugian keuangan negara dan merusak ekosistem. Selain itu, proyek ini berada di area Sesar Besar Sumatera (the Great Sumatra Fault) yang berpotensi sebagai pusat gempa bumi. Dalil pembangunan PLTA yang ramah lingkungan menjadi tidak sinkron karena besarnya ekosistem yang dikorbankan. Penyelamatan ekosistem Batang Toru dan potensi kerugian negara dibahas dalam temu pers yang digelar di Jakarta, Kamis (20/9). Hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan, Manajer Kampanye WALHI Eksekutif Nasional Dwi Sawung, Akademisi Universitas Sumatera Utara Jaya Arjuna dan Ketua Forum Konservasi Orangutan Sumatera (FOKUS) Kusnadi Oldani.

Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara Dana Prima Tarigan mengatakan, WALHI bersama-sama dengan beberapa akademisi terus menyuarakan untuk penghentian pembangunan PLTA Batang Toru. Proyek ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional, sehingga seharusnya Presiden Joko Widodo sendiri membatalkan proyek ini. Sebagai Indepentend Power Producer (IPP), PLTA Batang Toru akan mempunyai nilai keekonomisan harga jual listrik ke PLN yang sangat rendah. PLTA ini akan menjadi PLTA termahal di Indonesia, dilihat dari biaya investasi dan harga jual per Kwh, sehingga akan menimbulkan kerugian terhadap PLN.

“Kami selalu untuk mencoba untuk membuka ruang dialog dengan pemerintah, tapi pemerintah sepertinya menutup ruang itu. WALHI juga sudah menyurati Bank of China yang menjadi penyandang dana proyek ini. Mereka akan memberikan jawaban pada 31 Agustus lalu. Tapi saat kami minta konfirmasi lebih lanjut, pihak Bank of China hanya memberikan jawaban normatif. Ditengah tidak stabilnya neraca keuangan negara. Maka sudah sepantasnya proyek ini dihentikan karena hanya akan menimbulkan kerugian negara yang lebih besar,” kata Dana.

Akademisi Universitas Sumatera Utara Jaya Arjuna menjelaskan, proyek PLTA Batang Toru akan mengancam kehidupan masyarakat di sekitar hilir sungai. PLTA ini akan menggunakan sistem peaker, yaitu membendung sungai untuk mendapatkan debit air yang cukup untuk menggerakkan PLTA. Dengan sistem ini, maka masyarakat bagian hilir hingga ke pesisisr pantai yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan dan petani akan menjadi pihak pertama yang merasakan dampak negatifnya.

Ia juga menambahkan, AMDAL PLTA Batang Toru bermasalah karena tidak memberikan kajian yang jelas. Misalnya saja soal wilayah ini yang merupakan wilayah gempa bumi dan juga soal penanganan fluktuasi air dari sekitar 60 m kubik/detik menjadi 2,5 m kubik/detik. PLTA juga tidak memiliki rencana pengelolaan lingkungan (RKL dan RPL) yang jelas. Dengan debit air yang dibendung diperkirakan mencapai 3,6 juta liter, maka bila terjadi banjir akan menimbulkan bencana besar di wilayah hilir yang tercakup wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.

Sedangkan Ketua FOKUS Kusnadi Oldani mengatakan, daerah ini merupakan wilayah habitat Orang Utan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis), yang merupakan spesies paling langka di dunia. Bila pemerintah membiarkan perusakan terhadap ekosistem mereka, tentu hal ini akan menjadi sorotan dunia.

“Menteri LHK sudah meminta Dirjen KSDAE untuk memberikan pengawasan melekat terhadap proyek ini. Saat ini pihak BKSDA sudah mendapatkan temuan bahwa Orangutan sudah mulai hidup tersegregrasi. Orangutan hidup terpisah di blok Barat dan Timur, padahal proyek ini baru tahap awal," imbuh Kusnadi.

Terkait gugatan yang di layangkan WALHI, Kordinator Kuasa Hukum WALHI untuk gugatan pembatalan izin lingkungan PT. NSHE di Batang Toru, Goldfrid Siregar mengatakan, WALHI berharap akan adanya keputusan sela di PTUN Medan untuk menghentikan sementara semua kegiatan di lapangan sampai ada keputusan hukum yang pasti. “kita berharap nantisa ada keputusan sela dari majelis hakim, agar memerintahkan menghentikan semua aktifitas di lokasi sampai ada keputusan hukum tetap, agar tidak terjadi kerusakan lingkungan lebih besar,” tegasnya.