JAKARTA - DPD RI berharap agar permasalahan tenaga honorer dapat segera terselesaikan. Banyaknya tenaga honorer yang telah mengabdi puluhan tahun tanpa memiliki status yang jelas, menjadi keprihatinan bagi DPD RI.

Meskipun telah mengabdi lama, banyak tenaga honorer di daerah yang digaji kecil, dan sering tidak dapat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Menurut Wakil Ketua DPD RI Darmayanti Lubis, permasalahan tenaga honorer dapat diselesaikan secara preventif dengan pendekatan regulasi yang berpihak dan berkeadilan terhadap eksistensi tenaga honorer. Menurutnya pemerintah harus memperhatikan nasib tenaga honorer yang telah mengabdi puluhan tahun.

"Persoalan yang terjadi saat ini adalah kekosongan hukum yang mengatur keberadaan tenaga honorer Indonesia dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Hilangnya kedudukan hukum dan perlindungan hukum bagi tenaga honorer Indonesia serta berlarut-larutnya penyelesaian maslaah tenaga honorer perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah," tegasnya dalam acara Diskusi Publik dengan tema Masa Depan Tenaga Honorer di Indonesia di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen yang dihadiri oleh Senator DPD RI, tenaga honorer dari daerah, Komnas HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan akademisi pada hari Kamis (20/9).

Permasalahan tenaga honorer sendiri kembali mencuat saat adanya agenda seleksi CPNS oleh pemerintah. Dimana dalam seleksi tersebut, terdapat salah satu syarat batas usia pendaftar yang tidak boleh melebihi umur 35 tahun sesuai dengan UU ASN. Padahal tenaga honorer memiliki usia lebih dari 35 tahun yang mengakibatkan mereka tidak bisa mengikuti seleksi CPNS tersebut.

Atas hal tersebut, Darmayanti Lubis meminta agar tenaga honorer dapat menyusun sebuah rekomendasi mengenai aspirasi yang selanjutnya diberikan kepada DPD RI. Aspirasi tersebut selanjutnya akan diperjuangkan oleh DPD RI ke DPR RI ataupun Pemerintah untuk dibuat sebuah solusi berupa payung hukum terkait pengangkatan tenaga honorer sebagai PNS.

"Kami sebagai anggota DPD dari daerah akan menerima aspirasi ini dan meneruskannya. Ada lembaga hukum yang menjadi panitia, kemudian bersama-sama merekomendasikan. Nanti kami dari DPD bisa berbicara langsung secara kelembagaan dengan DPR dan Pemerintah," ucap Senator asal Provinsi Sumatera Utara ini.

Senada, Senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ibrahim Agustinus Medah, menjelaskan bahwa permasalahan tenaga honorer harus segera diselesaikan karena didalamnya melibatkan nasib banyak orang. Dirinya menilai sumber masalah ini adalah tidak adanya payung hukum yang mendasari pengangkatan tenaga honorer sebagai PNS.

"Menurut saya, pemerintah ini melakukan action-nya berdasarkan payung hukum. Maka undang-undang yang menjadi dasar pengangkatan PNS atau honorer harus direvisi," kata Ibrahim.

Dirinya prihatin atas nasib tenaga honorer di daerah. Banyak tenaga honorer yang memiliki penghasilan yang kecil. Bahkan gaji tersebut tidak cukup untuk kegiatan operasional dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga honorer.

"Guru-guru di NTT hanya ada yang terima 100 sampai 150 ribu. Padahal untuk membayar ojek sekitar satu jutaan dalam satu bulan. Kenapa mereka tetap menjadi honorer? Karena mereka ingin mendidik generasi muda. Jadi bukan soal uang, tetapi pengabdian mereka ke bangsa," imbuhnya. ***