LOMBOK – MPC Pemuda Pancasila Kabupaten Pasuruan, menerjunkan tim terapi trauma healling ke Lombok, guna membantu menormalisasi psikis para korban gempa. Rombongan yang dikomandoi H Ahmad Faqih Rochin itu berangkat dari Jwa Timur pada Jumat lalu dan langsung menuju Nusa Tenggara Barat.

"Saya ditemani H Ismai, Husein  Mewar dan Tim sengaja datang untuk memulihkan trauma para korban gempa,” ujar Faqih kepada GoNews.co, Rabu (8/8/2018) melalui sambungan Whatsapp.

Pasca Gempa pertama yang mengguncang Lombok Utara pada pukul 18:46 WIB. Selang beberapa hari, terdapat koreksi kekuatan gempa menjadi 7 SR disusul peringatan dini bencana tsunami. Gempa tak berhenti di situ, gempa susulan pun berulang kali terjadi. 

Situasi panik yang mencekam ini pun meninggalkan bekas trauma di hati dan pikiran banyak orang termasuk anak-anak. 

Di tengah situasi mencekam, penting bagi anak-anak dan orang dewasa untuk mendapat pelayanan pemulihan trauma atau trauma healing. 

Menurut H Ahmad Faqih Rochin, trauma healing bertujuan untuk mengantisipasi post-traumatic syndrome disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan stres pascatrauma. 

Trauma healing untuk anak, kata Ratih, cenderung agak sulit sebab anak seringkali sulit bercerita perihal kecemasannya seperti orang dewasa. Ia berkata, bermain menjadi metode trauma healing yang tepat buat anak. 

"(Kalau bermain), mereka enggak merasa sedang diobati, enggak merasakan situasi yang mencekam. Dan yang mendampingi tidak boleh selalu mengungkit cerita (tentang gempa)," katanya.

Lebih lanjut lagi ia menjelaskan peristiwa gempa Lombok membuat anak-anak harus berada di pengungsian bersama anak-anak lain sehingga baik jika anak diajak bermain dalam kelompok. Metode teraplay atau play theraphy mengajak anak bermain, menikmati situasi walau situasi tidak senyaman biasanya.

Bermain dapat mengalihkan fokus anak dari situasi yang mencekam sekaligus membuat mental anak menerima situasi yang ia hadapi sekarang. "Trauma healing itu accepting, penerimaan," imbuhnya.

Dalam situasi tak nyaman, pemulihan trauma pada anak memang memerlukan dukungan keluarga dan orang dewasa di sekitarnya. Namun, kata dia, keluarga tentu berada di situasi serupa, merasa panik dan cenderung tidak bisa menolong. "Mereka juga perlu pertolongan, bisa kerjasama dengan tenaga profesional dan sukarelawan," kata dia.

Ia juga menjelaskan cepat atau lambatnya penyembuhan trauma tidak berpatokan pada usia. Trauma kata dia, artinya orang melakukan pemaknaan dari apa yang dipikirkan dengan peristiwa yang dialami. Saat orang menemukan bahwa keduanya tidak singkron, trauma akan muncul.

Kemunculan trauma bisa dalam tempo bulan atau tahun. 

Ia memberikan contoh anak dua tahun yang kehilangan ibunya. Anak ini tidak paham bahwa ibunya meninggal. Ia beranggapan bahwa sang ibu hanya tertidur hingga tiba pada usia tertentu ia sadar bahwa ibunya meninggal. Berbeda dengan orang dewasa yang lebih cepat memaknai suatu peristiwa yang dialami. 

"Namun orang dewasa juga ada yang denial, menolak. Aku enggak apa-apa, padahal apa-apa. 'Sok kuat'. (Padahal) segala bentuk emosi negatif sebaiknya dirilis. Kalau sedih dan memang ingin menangis, rilis saja, enggak perlu terbebani dengan norma lingkungan," paparnya.***