JAKARTA - KPK menjadwalkan pemeriksaan Menteri Sosial Idrus Marham dan Direktur Utama (Dirut) PT PLN Sofyan Basir pada pekan ini. Keduanya akan diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan dugaan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

Pemeriksaan Idrus dan Sofyan Basir sebagai saksi dilakukan, jelas Juru Bicara KPK Febry Diansyah, setelah penyidik KPK melakukan penggeledahan pada delapan lokasi sejak Minggu dan Senin, 15-16 Juli 2018.

"Hasil penggeledahan itu yang membawa penyidik KPK perlu memeriksa Idrus dan Sofyan sebagai saksi. Idrus diperiksa Kamis (19/7/2018), Sofyan Basir Jumat (20/7/2018)," kata Febri Diansyah, Rabu (18/7/2018)

"KPK telah menyampaikan surat panggilan secara patut. Kami percaya para saksi akan memenuhi panggilan KPK. Para saksi ini dibutuhkan keterangannya tentang apa yang ia ketahui terkait perkara yang sedang kami proses ini," kata Febri lagi.

Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.

Dalam OTT pada Jumat (13/7), KPK sudah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari 'commitment fee' sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Sebelumnya, Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Pada Senin (16/7) KPK menggeledah kantor Pembangkit Jawa Bali (PJB) I di Gedung Indonesia Power yang merupakan anak perusahaan dari PT PLN, ruang kerja tersangka Eni Maulani Saragih di gedung DPR RI, dan kantor pusat PLN.

KPK mendapatkan dokumen perjanjian dan skema proyek serta dokumen lain terkait proyek PLTU Riau-1, dokumen rapat, CCTV dan alat komunikasi dari penggeledahan tersebut.

Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembangkit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).

PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2002 dengan kapasitas 2×300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.

Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.

Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. ***