PEMIMPIN Indonesia jarang mengakui saat dia mengkorupsi dan merampok uang negara. Ada 1001 dalil dan alasan untuk membela-diri.

Berbeda dengan pemimpin di Jepang, Korea Selatan, Inggris, AS saat mereka mekakukan tindak pidana korupsi, maka mereka mengakui di depan publik dan langsung mundur.

Berbeda di Indonesia, sikap berkelit dan bersandiwara yang dimainkan contoh, Anas Urbaninggrum, Setya Novanto. Padahal bukti-bukti sesuai KUHP 184 yakni, 2 alat bukti sudah lengkap.

Pada dasarnya manusia kita no fair and no responsible (tak mau bertanggung jawab). Malahan si koruptor ini bisa-bisanya mau naik banding di MA, padahal dia sudah terbukti bersalah.

Ini mental-mental orang Indonesia. Indonesia bersih dari korupsi, butuh 40 tahun. Kapan Indonesia mau jadi negara maju, sedangkan mental para pemimpinnya seperti ini.

Ada pembelajaran berharga yang dipetik dari Hakim MA Artidjo, dimana ia tidak membela para koruptor malahan memperberat hukuman kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara.

Begitu pula dengan mantan Puteri Indonesia yang divonis 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta dari vonis sebelumnya 4 tahun 6 bulan terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Atas perbuatanya itu, Angie dijerat Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. MA membatalkan putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Angie melanggar Pasal 11 UU itu.

Salah satu contoh, Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari, ia mengumumkan pengunduran diri saat menerima suap dari sebuah perusahaan konstruksi.

Berbeda dengan di negeri ini, ada agenda DPR bulan Agustus sedang merancang RUKHUP tentang korupsi . Hal ini sudah jelas berpotensi memasung TUPOKSI KPK dalam pemberantasan korupsi. Nanti KPK dibikin seakan tak bertaring, yakni hanya sampai ke tingkat pencegahan saja tanpa ada penindakan atau vonis bersalah.

Harusnya lembaga KPK diperkuat jangan dilemahkan bahkan ada indikasi atau dugaan pembubaran.

Lebih para lagi usulan mantan koruptor bisa nyaleg. Wow!! moral pemimpin kita dalam hal dipertanyakan? Saat ini kita lagi menghadapi Krisis moral bagi para pemimpin.

Mau jadi apa negara kita nantinya, jika yang duduk di parlemen adalah para mantan koruptor?

Mengutip pernyataan budayawan Sujiwo Tejo "Korupsi lebih atau setidaknya sama saja dengan membakar kitab suci, yaitu menghina esensi kitab suci. Tak ada ajaran maupun agama yang tak mengharamkan korupsi"

Sementara, Thomas Jefferson, Presiden (ke-3), Amerika Serikat (1743-1826) berpendapat : Negara kita begitu mantap menunjukkan bagaimana jalan yang tepat untuk lolos dari kehancuran, yaitu pertama dengan konsolidasi kekuasaan, dan kemudian korupsi, itulah konsekuensi pentingnya. (Our country is now taking so steady a course as to show by what road it will pass to destruction, to wit: by consolidation of power first, and then corruption, its necessary consequence).

Berkaca dari Hongkong, penyakit korup ini melanda hampir di semua lapisan baik atas maupun bawah. Istilah "mo chin mo sui' (tidak ada uang tidak ada air)" sangat familier bagi warga Hongkong.

Istilah ini sering dilekatkan pada petugas pemadam kebakaran yang baru bertindak kalau hitung-hitungan uangnya selesai. Namun sejak 1962 sampai 1972, negeri ini kehilangan sekitar 10 miliar dolar Hong Kong akibat korupsi.

Tapi, setelah lembaga anti rasuah Independent Commision Agent Corupption (ICAC) didirikan pada 15 Februari 1974, ICAC maka, Hongkong bisa masuk 12 besar negara terbersih di dunia.

Jika ingin jadi negara maju, maka pemimpin kita harus memilik sikap "gentleman" saat melakukan korupsi. Pikirkan sebelum melakukan tindakan memalukan yaitu korupsi!

Oleh karena itu, budaya malu perlu ada di Indonesia dan cinta uang berlebihan perlu dihilangkan. Lantaran jika tidak, maka sebuah kemustahilan korupsi dapat berhenti di negeri ini. Tapi hanya sebuah kemaslahatan yang muncul.Penulis: Jerry Massie pengamat dari Indonesian Public Institute