ASAHAN Isu Suku, Agama, Ras Antargolongan (SARA) yang dilemparkan ke publik oleh sejumlah pihak tidak akan mampu memecah belah warga Sumatera Utara (Sumut).

Terlebih saat mendekati momen kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 ini. Isu tersebut dinilai hanya perbuatan orang-orang yang tidak mampu bertarung secara rasional dengan etika politik yang santun.

Hal itu diungkapkan Ustaz H Syahrul Efendi Siregar yang juga merupakan kader dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.

Ia mengatakan bahwa pada prinsipnya Pilkada khususnya dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) adalah ajang mencari kepala daerah dan bukan imam salat. Karena itu, masyarakat jangan terprovokasi dengan isu-isu SARA yang kerap dihembuskan untuk merusak rasionalisme berpikir warga.

“Kita sekarang memilih imam sholat atau gubernur? Kalau milih gubernur ya pilih nomor dua, pasangan Djarot dan Sihar,” kata Syahrul dalam orasinya di Lapangan BSBD Jalan Ir Sutami Kelurahan Dadi Mulyo Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan.

Dalam wawancara singkat bersama wartawan di sela sela Kampanye Akbar pasangan Djarot Sihar di Asahan akhir pekan lalu, alumni Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sumut tersebut mengatakan bahwa dalam ranah pemilihan kepala daerah, selalu saja dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab menyebarkan isu yang menghujat. Padahal itu sangat bertentangan dengan agama. Karena itu masyarakat harus rasional dan jangan terpengaruh isu-isu tersebut.

“Kita ingin perubahan ya pasti kita memilih nomor dua. Karena kita ingin kemajuan bersama. Karena itu, hanya orang munafik yang menghembuskan isu SARA untuk memecah belah persatuan bangsa,” katanya.

Maka dari itu, Syahrul berharap masyarakat bisa bijak dalam menyikapi isu SARA. Sebab, memilih pemimpin sesuai dengan pengalaman dan keadilan terhadap masyarakat. Ia menegaskan, masyarakat memilih paslon yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk perubahan.

Dia menegaskan bahwa dalam Islam, mengangkat pemimpin non-muslim itu boleh. Persyaratan mutlak itu adalah keadilannya. “Kita bukan mau mengangkat imam salat, ketua perwiritan, ketua zakat. Tapi, yang kita angkat itu pemimpin wilayah yang memang ahli dalam bidang birokrasi," ujarnya lagi.***