MEDAN -Pengamat Energi, Marwan Batubara menilai sistem subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) harus diubah. Ia menilai ketentuan itu tidak pas karena cenderung tak objektif.

Uang negara yang dikeluarkan untuk subsidi BBM bisa melanjutkan program pengurangan konsumsi BBM, dengan menghasilkan Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Subsidi barang harusnya diubah dengan sistem subsidi ke orangnya langsung. Subsidi barang cenderung tidak objektif karena pembagiannya sering kali tak tepat sasaran. Saya mendorong ini bukan untuk membuat rakyat menderita, justru sebaliknya. BUMN itu perlu kita jaga, kita perlu membentengi dari kepentingan interpensi penguasa dari luar yang hanya berpikir singkat. Kalau harga BBM rendah bagaimana untuk kembangkan EBT untuk kehidupan kita yang panjang,” ujarnya kepada wartawan di Medan, baru-baru ini.

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) ini menambahkan, Saudi yang memiliki hasil minyak melipah pun menaikkan harga BBM-nya. Sementara itu, Indonesia yang 67 persen minyaknya impor ingin member harga murah.

“Ujung-ujungnya nanti kita yang susah.  Saya bukan bela pertamina, data yang saya temukan 2017 itu premium dan solar Pertamina rugi 24 triliun dan di 3 bulan pertama di 2018 rugi 8,7 triliun, akhir tahun mau rugi berapa,” ujarnya.

Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk menciptakan sistem subsidi tepat sasaran, menjalankan amanat Undang-Undang dan membuat harga secara tepat.

“Sebenarnya berapa sih yang pas, jangan terlalu banyak fruktuatifnya, jangan juga sampai rendah karena banyak sekali subsidi yang dibutuhkan untuk mengembangan energi baru terbarukan seperti bahan bakar nabati,” katanya.

Marwan bahkan menyarankan agar harga BBM untuk solar dan premium dinaikkan. “Kalau untuk solar setelah dipotong Rp500 subsidi per liter, maka harganya harus naik Rp2.200 per liter dan segitu juga untuk premium,” katanya sembari mengatakan berdasarkan World Energy Council, tingkat ketahanan energi di Indonesia peringkat ke 75 dan terakhir ada Nigeria dengan peringkat 125.***