MEDAN - Pemerintah seharusnya lebih fokus untuk mengendalikan pencemaran air sungai yang mengalir ke Danau Toba dan tidak hanya yang ada di danau. Danau Toba telah dicanangkan sebagai destinasi wisata utama di negeri ini.

Bahkan, Pemerintah Republik Indonesia tengah mengupayakan agar satu danau kaldera terbesar di dunia ini memperoleh status geopark tingkat dunia dari Unesco pada tahun 2018 ini.

Pemerhati masalah lingkungan, Endi Setiadi Kartamihardja melalui siaran pers yang dikirim dari Jakarta mengatakan pemanfaatan perairan Danau Toba untuk keperluan wisata menghendaki terpeliharanya kualitas dan kuantitas air di sana.

“Sebagai destinasi wisata, perairan Danau Toba wajib memiliki kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan wisata. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan pengelolaan terpadu untuk mempertahankan kualitas lingkungan perairan danau,” katanya.

Hal ini juga telah ditegaskan melalui Perpres Nomor 81/2014 yang menetapkan Danau Toba sebagai perairan dengan kualitas baku mutu kelas satu. Ditambah lagi dengan SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/209/KPTS/2017 yang menetapkan Danau Toba adalah kawasan perairan oligotropik.

Danau Toba yang memiliki luas 1.124 kilometer persegi itu memperoleh pasokan air dari sekitar 191 sungai ditambah curah hujan.

Hasil penelitian Pusat Riset Perikanan pada Agustus 2017 atau bertepatan dengan peralihan dari musim kemarau ke musim hujan, menunjukkan kandungan limbah berupa fosfor dari air sungai yang mengalir ke Danau Toba rata-rata mencapai 0,29 mg per liter.

Namun, pada saat musim hujan Desember 2017, kandungan fosfor meningkat hampir dua kali lipat menjadi rata-rata 0,53 mg per liter. Artinya, jika setiap satu liter air sungai itu memiliki kandungan fosfor sebesar 0,53 mg, maka dalam satu tahun kandungan fosfor yang masuk ke Danau Toba akan mencapai 17.500 ton.

Menurut penelitian tersebut, limbah fosfor yang berada di sungai berasal dari pencucian limbah rumah tangga dan domestik, persawahan, perkebunan, peternakan dan aktivitas manusia lainnya di sekitar daerah tangkapan air Danau Toba.

Endi berasumsi bahwa air yang masuk dari sungai dan air hujan itu akan mengalir keluar Danau Toba dalam jangka waktu 81 tahun. Oleh karena itu, air dari sungai yang sudah tercemar akan masuk danau dan tergenang serta menumpuk selama 81 tahun.

“Bila cemaran air sungai tidak dikendalikan, maka selama itu pula dia akan terus bertambah dan semakin mencemari air danau,” katanya.

Menurut perhitungan, jika beban limbah total fosfor yang masuk Danau Toba tidak dikendalikan, maka konsentrasi total fosfor di danau akan menjadi sekitar 68,11 mg per liter. Ini berarti sudah 340 kali lipat melebihi baku mutu kualitas air kelas satu yang mensyaratkan total fosfor maksimum sebesar 0,2 mg per liter.

Menghadapi hal ini, lanjut Endi, sudah seharusnya pemerintah lebih fokus dalam pengendalian pencemaran di sungai yang mensuplai air ke Danau Toba. Tidak hanya mengendalikan pencemaran yang terjadi di dalam danau.

“Jika upaya strategis pengendalian cemaran di sungai dapat segera dilaksanakan, maka tujuan untuk menjadikan Danau Toba sebagai kawasan wisata tingkat dunia dapat tercapai,” tegasnya.