Sibolga - Walikota Sibolga Syarfi Hutauruk mengungkapkan, terjadi penurunan produksi ikan dari tahun ke tahun di kota itu pasca keluarnya aturan larangan penggunaan pukat trawl, yang selama ini digunakan sebagian besar nelayan di kota tersebut.

“Dulu Kota Sibolga dikenal sebagai kota ikan, makanya ikan ini menjadi salah satu ikon Kota Sibolga. Di beberapa tempat terdapat logo ikan,” ujar Syarfi Hutauruk dalam dialog bersama nelayan, di aula Kantor Walikota Sibolga, di Sibolga, Senin (12/3/2018).

Hadir dalam dialog tersebut Dirjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, R Sjarief Widjaja, anggota DPD RI Parlindungan Purba, anggota DPRD Kota Sibolga dan puluhan masyarakat nelayan di Kota Sibolga.

Syarfi mengatakan, produksi ikan di Kota Sibolga sempat melimpah dan pelaku usaha di bidang perikanan juga cukup banyak. Total produksi ikan pada 2015 mencapai 52.000 ton, pada 2016 produksinya menurun menjadi 48.000 ton, dan pada 2017 turun lagi menjadi 45.000 ton.

Pada 2016 terdapat 937 unit kapal perikanan, tetapi pada 2017 kapalnya berkurang menjadi 923 unit.

Dia menyebut, terdapat 8.400 nelayan di Kota Sibolga yang selama ini berkontribusi besar terhadap roda perekonomian di kota itu. Jumlah ini tidak termasuk para pekerja yang juga menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan.Misalnya, pekerja perebus dan pembelah ikan.

Disebutkan juga, jumlah nelayan yang memiliki kartu nelayan sebanyak 5.786 orang, sementara sebanyak 3.400 nelayan lainnya belum memiliki kartu nelayan. Tak hanya itu, masih ada 5.500 nelayan yang sudah diasuransikan.

Dia menambahkan, sejak pemberlakuan Permen KP 02/2015, Kota Sibolga terancam menjadi kota mati karena mayoritas masyarakat menggantungkan hidup dari sektor kelautan dan perikanan.

Dampak yang kian terasa adalah tingkat pengangguran yang terus bertumbuh dari tahun ke tahun.

“Sebelum berlakunya Permen KP 02/2015, kehidupan ekonomi masyarakat membaik, suasana belanja masyarakat cukup tinggi. Sekarang banyak usaha perikanan hampir mati total. Beberapa pendaratan ikan swasta tidak ada lagi kapal, tinggal tong. Ekspor ikan ke Singapura, Thailand dan Eropa, sekarang hampir terhenti, sementara nelayan tradisional belum kelihatan,” beber Syarfi.

Ia menyebut, aspirasi dari nelayan selama ini mengeluhkan terus menurunnya perekonomian sudah disampaikan ke Menteri Kelauatan dan Perikanan Susi Pujiastuti. Diharapkan, kementerian dapat memberikan solusi agar ekonomi masyarakat kembali bertumbuh di kota itu.

“Kami tak mau mempertentangkan nelayan kecil dengan nelayan besar. Karena itu kami minta solusi konprehensif, intinya disampaikan agar pemerintah pusat bisa meningkatkan ini, dan aturan kita taati kemudian nelayan kecil bisa nyaman mencari ikan dengan zona, sementara nelayan besar bisa berkembang dengan baik, sehingga Kota Sibolga ini bisa kembali menjadi kota ikan,” harap Syarfi.

Syarfi kemudian menyinggung soal bantuan-bantuan dari kementerian yang akan dialamatkan kepada para nelayan.

Ia menyebut agar bantuan tersebut dapat bermanfaat guna dengan tidak mengesampingkan usulan-usulan yang ada.Di antaranya agar bantuan sejenis kapal tidak lagi berbahan fiber, melainkan kayu yang memang dinilai cocok bagi kondisi laut.

“Menarik (jaring) itu di sini sulit kalau fiber, di sini harus kapal kayu, ada yang diberikan kementrian di daerah Sorkam, mulai datang sampai sekarang tenggelam gak pernah digunakan karena gak cocok wilayah pantai barat ini,” ungkapnya.

Dia juga mengharapkan ada kebijakan khusus terkait kebutuhan akan kayu bagi para nelayan. Salah satunya bisa dilakukan dengan MoU antara menteri dan Kapolri yang bisa mengakomodir pemanfaatan kayu dari pulau-pulau terdekat yang memang digunakan untuk perbaikan kapal-kapal nelayan.

“Nanti ada di pulau sana kayu ditebang untuk menambal kapal, kalau tak ada kebijakan lebih tinggi ditangka