Medan - Meski Chairil Anwar adalah orang Medan tulen, namun sampai saat ini, teka-teki rumahnya di Medan masih belum terjawab tuntas. 

Hal itu disebabkan tidak adanya dokumentasi berupa data-data primer yang menjelaskan hal itu.

Data yang dijadikan rujukan sejumlah peneliti selama ini berdasarkan pengakuan dari beberapa orang serta interpretasi atas sejumlah sajak yang diciptakan pelopor sastrawan angkatan 45 itu.

Sejarawan Ichwan Azhari belum lama ini juga mengakui bahwa sampai kini belum ada kepastian yang valid di mana sebenarnya rumah Chairil Anwar di Medan.

Namun diakuinya, penelitian yang dilakukan sastrawan Damiri Mahmud selama ini merupakan pintu masuk untuk mengungkap tabir itu. Sejauh ini data-data dari hasil penelitian yang dilakukan Damiri Mahmud merupakan informasi paling penting untuk menjelaskan di mana rumah Chairil Anwar di Medan.

Damiri Mahmud adalah salah seorang sastrawan di Sumut yang getol meneliti Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Pada tahun 2014, Damiri menerbitkan buku berjudul Rumah Tersembunyi Chairil Anwar (RTCA).

Salah satu tulisan dalam buku itu berjudul "Pak Wali Cari Rumah Chairil Anwar" yang juga pernah dimuat di Harian Analisa (23 Maret 2014). Di tulisan itu, Damiri mengungkap keberadaan rumah Chairil Anwar melalui wawancara serta berdasarkan analisis teks atas sejumlah sajak Chairil Anwar.

Secara eksplisit dalam tulisan itu, Damiri menyebutkan kemungkinan ada dua rumah Chairil Anwar di Medan. Pertama di pemukiman di sekitar Masjid Raya (Kota Matsum) Medan. Hal itu berdasarkan pengakuan sastrawan yang juga wartawan senior di Sumut, Aldian Arifin.

Seperti dijelaskan Aldian, setiap kali mereka menggelar perayaan mengenang Chairil di Gedung Kesenian yang ada di Titi Gantung Medan pada tahun 1960-an, mereka tak lupa menjemput ibunda Chairil, Saleha dari rumahnya di pemukiman penduduk di sekitar Masjid Raya.

Sedangkan rumah kedua Chairil diduga berada di kompleks perumahan Pamong Praja di sekitar Jalan Gajah Mada, Medan. Pendapat itu ia simpulkan berdasarkan pengakuan sejumlah sastrawan, wartawan dan seniman.

Di antaranya Rahim Qahhar, Arief Husein Siregar dan Ben M Pasaribu. Bahkan lebih jauh Ben M Pasaribu menyebut Chairil Anwar pernah bersekolah di salah satu MULO (SD) di Jalan Abdullah Lubis, Medan.

Selain dari wawancara, kesimpulan itu juga berdasarkan interpretasi teks beberapa sajaknya. Salah satunya berjudul "Rumahku". Bunyi bait I dan II sajak itu tertulis // Rumahku dari unggun timbun sajak/kaca jernih dari luar segala nampak/kulari dari gedong lebar halaman/aku tersesat tak dapat jalan//

Menurut Damiri, asosiasi "rumah gedong" pada tahun 1940-1950 an di Medan biasanya akan selalu merujuk pada Kompleks Perumahan Pamong Praja Belanda yang ada di Jalan Gajah Mada, Medan.

Damiri pun menarik kesimpulan bahwa setelah perceraian orangtuanya, Chairil ikut dengan ayahnya pindah ke rumah dinas Pamong Praja Belanda yang ada di Jalan Gajah Mada Medan. Ayah Chairil Anwar, Toeloes adalah seorang pegawai pamong praja Belanda yang juga pernah menjadi Bupati Kisaran.

Sedangkan ibunya pergi ke Jakarta. Tak lama kemudian karena diduga bertengkar dengan ayahnya, Chairil Anwar pun menyusul ibunya ke Jakarta pada 1941-1942. Waktu itu umurnya kurang lebih 20 tahun.

Selama tujuh tahun tinggal di Jakarta, Chairil terlibat secara serius dalam sejumlah aktivitas sastra. Lewat sajak-sajaknya ia menggugah nasionalisme tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Tidak heran bila Chairil Anwar juga disebut sebagai salah satu tokoh pergerakan Indonesia.

Di bidang sastra ia menghasilkan sajak-sajaknya yang monumental. Beberapa di antaranya dianggap sebagai pelopor sajak modern Indonesia. Antara lain "Aku" "Karawang Bekasi" "Senja di Pelabuhan Kecil" "Derai-derai Cemara".

Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Masa kecil hingga dewasa ia habiskan di Medan. Di usia 19-20 tahun Chairil hijrah ke Jakarta dan berkarya di sana.Chairil Anwar meninggal dunia pada 28 April 1949. Tanggal kematiannya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.