Medan - Bank Indonesia (BI) menegaskan, tingginya angka peredaran uang palsu di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Sumut tidak ada kaitannya dengan momen Pilkada yang akan berlangsung.

Kepala Kantor Perwakilan BI Sumut Arief Budi Santoso mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh selama ini, peredaran uang palsu tak memiliki hubungan apa-apa dengan even pemilu.

"Karena memang tidak ada pola yang pasti. Data penemuan uang palsu secara bulanan selalu naik-turun," katanya, di Medan, Jumat (9/3/2018).

Menurutnya, sindikat pengedar uang palsu lebih memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat mengenai ciri-ciri rupiah yang asli. Mereka akan menyasar masyarakat yang memiliki pemahaman yang rendah mengenai rupiah. "Jadi tidak ada hubungannya dengan Pilkada," tegasnya.

Sebagai catatan, dalam tiga tahun terakhir, BI mencatat ada kenaikan peredaran uang palsu di daerah ini. Pada 2015 lalu uang palsu yang beredar mencapai 3.378 lembar, kemudian naik pada 2016 sebanyak 3903 lembar dan naik lagi pada 2017 yang ditemukan sebanyak 5.237 lembar. Sementara, pada tahun ini, hingga Februari 2018 penemuan uang palsu yang beredar sebanyak 866 lembar. Adapun pecahan yang paling banyak dipalsukan adalah Rp100.000 dan Rp50.000.

Dia mengakui, saat ini masih banyak masyarakat yang belum mampu membedakan antara uang palsu dan uang asli. Upaya peningkatan literasi masyarakat juga telah dilakukan seoptimal mungkin, namun hasilnya belum maksimal. Hal ini disebabkan karena selain penyebaran masyarakat yang sangat luas, juga disebabkan karena budaya masyarakat Indonesia yang masih senang dengan iming-iming tertentu.

Dia mencontohkan, jika harga barang seharusnya Rp100.000, namun karena pembeli meminta dengan harga tinggi, Rp150.000 misalnya, maka penjual dengan cepat melepas barang. "Tapi dia tidak tahu bahwa uang yang diterimanya itu uang palsu. Masih banyak budaya seperti ini di masyarakat," jelasnya.

Sebagai upaya menekan peredaran uang palsu di daerah ini, pihaknya terus melakukan sosialisasi, terutama saat mobil kas keliling BI beroperasi di pasar-pasar tradisional. Upaya peningkatan literasi ini diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk aktif melaporkan adanya tindak pemalsuan.