TAPUT - Petani tembakau di Kecamatan Pagaran Tapanuli Utara (Taput) mengeluh. Pasalnya, harga jual tembakau kerap dipermainkan pedagang. Akibatnya, kurun waktu dua tahun, petani tembakau beralih ke tanaman ubi Jepang, karena dianggap menguntungkan.

Panel Purba, salah satu petani tembakau di Kecamatan Pagaran mengatakan, harga jual tembakau sering tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan pengumpul, sehingga petani kerap dirugikan.

“Sekarang ini budi daya tanaman tembakau sudah mulai ditinggalkan, karena harganya kurang menguntungkan" katanya.

Panel menyebutkan, kerap pengumpul juga menetapkan harga secara sepihak. Petani tidak berdaya dan tidak punya pilihan harga, karena sistim monopoli harga di lapangan oleh pihak perusahaan rokok yang berpusat di Siantar.

“Mereka tidak punya saingan, jadi harga bisa dipermainkan. Kami tidak ada pilhan lain," kata Sihombing, petani tembakau lainnya.

Menurut Sihombing, jenis dan kualitas tembakau juga ditentukan pihak perusahaan. Petani sama sekali tidak tahu kriteria tembakau yang baik.

Mereka suka-suka. Kami hanya menanam, kalau tembakau yang baik dan tidak baik, kami tidak tahu sama sekali,” ujarnya.
Saat ini, tembakau petani dihargai Rp 31.000/kg untuk kualitas satu. Kualitas 2 dan 3 masing-masing Rp 24.000 dan Rp 15.000.

“Cukup membingungkan mana tembakau yang kualitasnya bagus sesuai dengan keinginan perusahan. Petani tembakau juga kerap jengkel, karena tidak ada kepastian standar kualitas. Meskipun perlakuan jenis tembakau yang dijual adalah kualitas super, tetapi menurut mereka tidak super. Itukan permainan harga supaya tetap murah,” keluhnya.

Ia mengatakan, sudah dalam dua tahun terakhir banyak petani beralih ke budidaya ubi Jepang karena lebih menjanjikan dan untung. Pemasarannya juga terjamin,” kata Sihombing.