MEDAN - Bawaslu Provinsi Sumut pada Rabu (14/2/2018), menggelar kampanye anti politik uang dan tolak politisasi SARA.

Tujuan kampanye demi mewujudkan pilkada yang aman, berkualitas, berintegritas serta menjaga persatuan.

Namun kampanye tolak politisasi SARA itu mengundang reaksi publik. Ada yang mengindikasikan bahwa kampanye tentang hal itu berupaya membawa pesan kampanye ke arah lain.

Menyikapi reaksi itu, Pengamat Politik dari UIN Sumut Faisal Riza mengemukakan beberapa hal.

Pertama, di era Orde Baru persoalan SARA ini adalah hal yang dilarang. Rezim Soeharto lebih mengedepankan memilih kata-kata sakti seperti Persatuan Indonesia demi menghindari perpecahan bangsa.

“Nah, era saat ini jika kita berbicara SARA terkesan ada upaya menggeser bahwa politik identitas jangan sampai digunakan pada momen-momen Pilkada atau Pemilu,” kata Faisal Riza.

Padahal, menurut Dosen Pemikiran Politik UIN Sumut itu, dalam kadar tertentu politik identitas tak bisa dipisahkan dalam momen Pilkada maupun Pemilu.

“Misalnya, saya adalah seorang Nasrani yang akan berkompetisi pada Pilkada, maka yang kami lakukan untuk meraih suara pertama kali adalah meraih simpul suara-suara Nasrani. Dan itu sudah teknik lama,” imbuh Faisal Riza.

Atau misalnya, calon kepala daerah atau kepala negara mengedepankan pasangan yang bisa mewakili daerah tertentu.

“Misalnya pemilihan presiden. Calon presiden dan timnya pasti akan memilih pasangan yang bisa mewakili daerah tertentu. Dan ini termasuk salahsatu politik identitas,” ujar Faisal.

Sekarang, sambung Faisal, yang justeru terjadi ada kekhawatiran bahwa kampanye tolak politisasi SARA berupaya menggeser pemikiran bahwa agama harus dipisahkan dari politik.

“Ada upaya menggeser ke pemikiran sekular. Ini yang salah. Politik dan agama tak bisa dipisahkan. Yang bisa dikedepankan seharusnya, jangan kita atau calon pasangan kepala daerah merendahkan agama orang lain,” tandas Faisal.

Menurut dia, kampanye anti SARA tidak menjawab persoalan.

“Kampanye ini bukan menjawab persoalan bahkan cenderung membesar-besarkan persoalan. Kita bisa mengimbangi wacana politik SARA, agar tidak terlalu dominan, dengan tiga cara. Pertama, kandidat memberikan pendidikan politik yang baik melalui pemaparan program untuk pembangunan. Kedua, kerelaan elit untuk tidak menurunkan konflik politik ke masyarakat akar rumput,” paparnya.

Dan yang ketiga, penyelenggara pemilu harus bekerja dalam mendidik pemilih.

“Salah satu yang efektif, menggunakan perusahaan-perusahaan media,” tukas Faisal Riza.