JAKARTA - Keterbatasan yang dimiliki pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat di daerah begitu jelas terlihat.

Salah satu keterbatasan yang menjadi problem krusial dalam pelayanan kesehatan adalah perlindungan hukum terhadap kepentingan pasien.

Hal tersebut disampaikan Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris seusai melakukan Rapat Kerja Daerah (RKD) Komite III DPD RI dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pasien di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Senin (5/2/2018).

Dalam RKD ini rombongan Komite III DPD RI berdialog bersama Sekda Provinsi Aceh Darmawan, Asisten 1 Pemprov Aceh, Kepala Dinas Provinsi Aceh, Muspida provinsi Aceh, Ombudsman dan LSM Kesehatan.

“Penyelenggaraan layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat belum maksimal. Berbagai ragam aduan masyarakat terhadap layanan kesehatan baik yang bersifat non medis maupun medis menjadi bukti belum maksimalnya layanan kesehatan di Indonesia,” kata Fahira.

Menurut Fahira, belum optimalnya layanan kesehatan disebabkan karena penyelenggara layanan kesehatan sejauh ini lebih sering dianggap sebagai komoditas ekonomi ketimbang komoditas sosial.

Padahal menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas ekonomi bukan saja bertentangan dengan UU Kesehatan, tetapi lebih jauh lagi merupakan ancaman bagi keadilan sosial.

Fahira menyampaikan, kekuatan dan transaksi ekonomi yang mendominasi pola hubungan antara pasien dengan rumah sakit sebagai badan hukum dan pasien dengan dokter/tenaga kesehatan telah berdampak pada tidak seimbangnya kedudukan pasien dengan rumah sakit dan pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Pasien akan selalu ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dan lemah.

“Dengan posisi yang lemah tersebut, pasien tentu akan sering terlemahkan. Jangankan untuk menuntut kerugian secara perdata maupun pidana, untuk menuntut tenaga kesehatan dan/atau fasilitas kesehatan atas dasar pelanggaran etika saja sangat sulit. Alih-alih hendak melakukan tuntutan hukum untuk memperoleh keadilan justru pasienlah yang terkena tuntutan hukum.

Fahira mengingatkan, memberikan dan menjamin perlindungan pasien sejatinya juga merupakan wujud dari menjamin hak hidup seseorang sebagaimana disebut dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945; yang dalam teori hak asasi manusia dikategorikan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Sedikitnya ada 2 alasan mengapa perlindungan pasien dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari hak hidup seseorang. Pertama dari sisi teknis, bahwa inti dari perlindungan pasien adalah keselamatan pasien (patient safety). Keselamatan jiwa pasien menjadi prioritas utama dalam memberikan perlindungan kepada pasien –yang dilakukan melalui berbagai tindakan medis maupun non medis. Pada asasnya tidak ada satu tenaga kesehatan pun yang mempunyai niat untuk mencelakakan pasien.

Kedua, dari sisi substantif norma dalam konstitusi UUD 1945, maka pasal 28 H ayat (1) yang menjadi rujukan kosntistuional pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat berdasarkan UU Kesehatan maupun pasal 28 I berada dalam satu rumpun norma yakni norma tentang hak asasi manusia, yang merupakan perluasan atau hasil amandemen kedua dari Pasal 28 UUD 1945. Berdasarkan argumentasi ini maka Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 sejatinya juga menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan pasien.

“Hingga saat ini belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang perlindungan pasien. Catatan-catatan kami berdasarkan kunker di Aceh ini masih banyak terjadi masalah pelayanan kesehatan baik yang muncul karena dipicu karena kesalahan dokter, pihak rumah sakit ataupun pemerintah sendiri sebagai penjamin hak-hak kesehatan rakyat. Oleh karena itu, perlu segera disusun RUU Tentang Perlindungan Pasien untuk,” katanya.

Anggota DPD RI Provinsi Aceh, Rafli mengutarakan, kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Aceh dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sudah cuku berjalan dengan baik. Hanya saja belum berjalan dengan sempurna.

"Dinas Kesehatan sudah berupaya. Cuma memang memperbaiki layanan kesehatan kepada pasien semua pihak harus ikut andil, baik itu pemerintah pusat, BPJS ataupun Rumah Sakit,” pungkasnya. ***