MEDAN - Rencana pemerintah untuk menjadikan Danau Toba sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dinilai sebagai upaya memberikan 'karpet merah' kepada investor asing.

Dengan kata lain tidak mencerminkan ekonomi kerakyatan. Hal lain, KEK juga berpotensi memunculkan persoalan-persoalan baru terkait ekologis di Kawasan Danau Toba (KDT).

"Itu tidak mencerminkan semangat geopark yang menekankan prinsip pariwisata yang berkelanjutan dan berpihak kepada ekologi," kata anggota DPRD SU, Richard Sidabutar.

Ia mengatakan pembangunan itu harus mempertimbangkan sisi ekologis serta harus melibatkan masyarakat setempat sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton. Lagipula, ucapnya, dengan KEK itu masyarakat tidak terdampak langsung sebaliknya hanya dinikmati para investor saja.

Di sisi lain, akan banyak dampak yang ditimbulkannya dan cenderung negatif. Misalnya sisi ekologis dan juga aspek humanis dimana pengaruh global yang masuk akan merangsek sisi budaya yang dimiliki masyarakat itu sendiri, kata Richard.

Pendapat yang sama juga disampaikan salah seorang pendiri Jendela Toba, Jhon Robert Simanjuntak. Disebutkannya KEK itu hanyalah akal-akalan pemerintah untuk melindungi para investor yang merusak lingkungan Danau Toba.

"Hari ini saja para perusahaan perusak lingkungan di Danau Toba sudah merajalela, apalagi kalau sampai diberlakukan KEK. Itu jelas tujuannya melindungi para perusak Danau Toba itu," kata Robert.

Ditambahkannya KEK itu bertentangan dengan semangat goepark. Kita heran kenapa Menteri Arief Yahya sampai berpikiran konyol seperti itu, katanya.

Sekedar menambahkan, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengungkapkan bahwa Danau Toba akan dijadikan KEK. Selain Danau Toba ada 10 destinasi lain yang menjadi prioritas. Dijelaskan Yahya, hal itu bertujuan untuk mempermudah investor masuk dan menanam sahamnya ke Danau Toba.