JAKARTA - Hingga september 2017 total aset Perusahaan Gas Negara (PGN) mencapai USD6.307.676.412 atau setara Rp83.892.096.279.600 (Kurs Rupiah) Rp 13.300).

Bahkan PGN Setiap tahunnya bisa mengukuhkan pendapatan rata-rata sebesar USD2.164.763.461 atau setara Rp28.791.354.031.300 (Kurs Rupiah) Rp13.300.

Meskipun sama-sama berada di sektor bisnis transmisi dan distribusi atau niaga Gas, dari segi pendapatan antara PGN dan Pertamina Gas bak langit dan bumi.

Hal ini diungkapkan Jajang Nurjaman, selaku Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA).

"Ini dapat dilihat dari pendapatan masing-masing di tahun 2016, PGN bisa memperoleh pendapatan sebesar USD2.934.778.710 atau setara Rp38.152.123.230.000," ujar Jajang, Jumat (26/1/2018) di Jakarta.

Angka ini kata dia, jauh lebih besar dibandingkan pendapatan Pertamina Gas yang hanya USD668.680.000. Atau setara Rp8.692.840.000.000, (Kurs Rupiah) Rp13.000.

"Bahkan untuk Pertamina selaku induk usaha Pertagas hingga Per Desember 2017 memiliki tanggungan utang sebesar Rp 153,7 triliun," tegasnya.

Dari kondisi ini lanjutnya, dapat terlihat secara keuangan PGN cukup stabil dan sehat, sedangkan Pertamina dalam kondisi yang kritis.

Terkait upaya menteri BUMN untuk melakukan merger PGN dengan Pertamina Gas, Center for Budget Analysis (CBA) menilai kebijakan tersebut tidak lain dari upaya Pertamina "merampok" alias penggabungan PGN dalam Pertagas.

"Penggabungan PGN dengan Pertamina Gas, jelas harus ditolak, apakah ini cara rezim sekarang merampok secara halus," tegasnya.

Pasalnya, kata Jajang, selain sarat akan kepentingan, juga masih banyak sekali kelemahan-kelamahan. Seperti dari segi regulasi, hingga saat ini RUU migas yang sudah diajukan DPR sejak 3 tahun lalu belum juga jadi, padahal setiap tahunnya selalu dijadikan RUU prioritas.

Dari sisi pengelolaan keuangan, dengan dijadikannya PGN sebagai bagian dari Pertamina (anak usaha) publik bahkan pemerintah dalam hal ini (DPR, BPK, atau KPK) tidak lagi leluasa mengawasi PGN. Perusahaan ini akan sama halnya dengan anak-anak usaha BUMN lainnya seperti Pertagas yang tertutup, banyak masalah, dan ladang subur bagi mafia minyak.

"Ambisi menteri Rini Soemarno yang begitu menggebu-gebu untuk menggabungkan kedua perusahaan, terselip udang di balik batu," tandasnya.

Sebagai catatan dengan dilakukannya penggabungan atau merger dua perusahaan Gas juga bisa menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada lagi persaingan usaha dan pengguna dalam hal ini masyarakat tidak ada pilihan harga gas yang berbeda lagi.

"Jika seperti ini sudah jelas, kebijakan marger PGN dengan Pertagas hanya menguntungkan kelompok tertentu dan bisa menyengsarakan rakyat, oleh karena itu publik harus tegas menolak," pungkasnya. ***