MEDAN - Melihat kondisi lahan di perkotaan yang semakin sempit, Perum Perumnas mengusung konsep hunian vertikal atau apartemen. Masyarakat turut diajak berfikir pada hunian vertikal dan bukan landed house atau rumah tapak.

“Khususnya perkotaan, seperti Medan, sangat susah lahan. Ketersediaan lahan juga diperlukan untuk pertanian,” kata Manager Pemasaran Perumnas Sentraland Sukaramai, Hari Raharjo.

Di negara tetangga, sebutnya, ketersediaan lahan sangat dijaga untuk lahan pertanian dan tidak semua dijadikan pemukiman. Sebab, pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi berdampak pula pada kebutuhan hunian.

“Tidak semua lahan bisa dijadikan hunian, karena perlu kita jaga untuk pertanian. Bayangkan bagaimana jika seluruh lahan di kota dibangun pemukiman. Di mana lahan pertanian kita?” sebutnya.

Kalau lahan pertanian sudah tidak ada, maka tidak akan ada sumber pangan yang bisa diberikan ke masyarakat. Hal ini tentunya akan menyebabkan krisis lahan.

“Maka, sumber pangan kita juga tidak ada. Jika ada, harus dikirim dari luar kota ataupun import dari luar. Harganya mahal, beban baru di masyarakat,” terang Hari.

Masalah lain adalah, ketersediaan bahan pangan tidak ada dan mahal maka dapat mengancam kehidupan di masyarakat, termasuk perekonomian warga. Ketersediaan lahan di perkotaan harus sebanding dengan pertumbuhan hunian.

“Tidak semua lahan bisa dijadikan hunian. Berangkat dari situ, kita mengusung konsep apartemen atau hunian vertikal. Kita sedang membangun apartemen Sentraland Sukaramai,” ucapnya.

Sentraland Sukaramai dibangun dengan merevitalisasi hunian sebelumnya, yakni Rusun Perumnas Sukaramai. Harganya juga lebih murah dibanding dengan hunian vertikal serupa di Kota Medan.

“Lokasi sangat strategis, berada di kawasan bisnis Asia Mega Mas. Sangat cocok untuk wirausaha dan hunian,” tandas Hari.