JAKARTA - Gempabumi dengan kekuatan 6,1 SR dengan pusat gempa di laut berjarak 43 km barat daya Kabupaten Lebak Provinsi Banten pada 23/1/2018 pukul 13.34 WIB telah mengejutkan masyarakat.

Gempa juga menimbulkan korban jiwa luka-luka dan kerusakan bangunan.  

Data sementara yang diperoleh GoNews.co dari BNPB, dampak gempa 6,1 SR terdapat 479 rumah rusak yang terdapat di wilayah Banten dan Jawa Barat.

Sebagian besar kerusakan rumah dan bangunan akibat minimnya konstruksi menahan gempa. Konstruksi bangunan tahan gempa adalah kebutuhan yang mutlak di wilayah Indonesia khusus di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Namun kenyataannya masih sangat minim rumah dan bangunan yang dibangun secara khusus mampu menahan gempa.

Akibatnya setiap terjadi gempa dengan kekuatan cukup besar kerusakan bangunan banyak, bahkan menimbulkan korban jiwa. Sebagai misal, dampak gempa 6,9 SR pada 15/12/2017 lalu menyebabkan 4 orang tewas, 36 orang luka, 8.860 rumah rusak ( 1.160 rusak berat, 1.950 rusak sedang, 5.750 rusak ringan), 99 sekolah rusak, 67 tempat ibadah dan lainnya.

Kerugian dan kerusakan akibat gempa mencapai Rp 250,76 miliar, dimana Ro 228,62 miliar adalah kerusakan dan kerugian di sektor permukiman. Untuk memulihkan memerlukan Rp 152,5 miliar.

"Korban jiwa bukan karena gempanya tapi karena bangunanya. Bangunan yang tidak kuat lalu roboh dan menimpa penghuninya. Gempa adalah keniscayaan. Dalam setahun rata-rata kejadian gempa di Indonesia mencapai 6.000 kali gempa," ujar Kepala Pusat Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, Selasa (23/1/2018) malam.

Lanjutnya, begitu juga gempa di selatan Jawa yang merupakan zona sepi gempa besar. Zona selatan Jawa khususnya dari segmen Pangandaran hingga Pacitan dan Banyuwangi adalah zona seismic gap.

Lempeng Indo Australia dan Eurasia di selatan Jawa ini aktif bergerak rata-rata dengan kecepatan 6,6 cm per tahun. Ratusan tahun tanpa gempa besar sehingga energinya terkunci. "Artinya ada potensi yang besar. Suatu saat bisa lepas energinya menjadi gempa dan membangkitkan tsunami. Kapan? Kita tidak tahu pasti," paparnya.

Untuk itu kata dia, perlu meningkatkan kewaspadaan. Persiapan dan mitigasi menghadapi gempa harus ditingkatkan. Tata ruang, building code, kesiapsiagaan, dan lainnya harus ditingkatkan agar kita tidak selalu siap menghadapi kondisi yang terburuk. 

"Gempa tidak dapat diprediksi secara pasti. Iptek belum mampu memprediksi secara pasti kapan, dimana dan berapa besar gempa akan terjadi. Oleh karena itu jika menerima informasi akan terjadi gempa bahkan dengan spesifik mengatakan besar, waktu dan lokasi itu adalah Hoax. Jadi jangan ikut-ikutan menyebarkan di medsos," pungkasnya. ***