LANGKAT - Diperbolehkannya kapal ikan nelayan dengan peralatan tangkap pukat cantrang beroperasi bagi nelayan di Pulau Jawa oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) RI telah mengundang kontroversi di kalangan nelayan di luar Pulau Jawa. Contohnya, kalangan nelayan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, mereka menganggap sebagai anak tiri Menteri Kelautan Perikanan RI Susi Pujiastuti. "Bagaimana tidak, kami ini kaum nelayan yang dianaktirikan oleh Ibu Menteri. Kabar beredar, nelayan di Pulau Jawa sudah diperbolehkan mengunakan pukat cantrang seperti pukat katrol, langgai, dan sejenisnya. Tetapi kami nelayan di Pangkalanbrandan, Langkat, hingga kini masih terkatung-katung tidak ada kepastian. Kapal tak beroperasi, peralatan tangkap terpaksa dijual murah kepada penampung barang bekas, pengangguran pun membludak, kata Adi Aceh, eks nelayan pukat cantrang di pelabuhan sandar Pangkalanbrandan, Minggu (21/1/2018).

Didampingi nelayan lainnya, Adi Aceh mengungkapkan, semenjak larangan diberlakukan pemerintah, mereka hidup susah, dari penjualan peralatan tangkap pukat cantrang, mereka membeli peralatan tangkap jaring tenggelam. Dalam pengoperasiannya, peralatan tangkap jaring tenggelam memakan modal besar dan waktu yang lama dengan jarak tempuh hingga 70 mil dari bibir pantai.

"Dilarang menggunakan pukat, tapi pemerintah tak mengganti alat tangkap, kami pun beli sendiri peralatan jaring tenggelam, pukat yang ada dijual jadi barang limbah. Operasinya 6-7 hari karena jarak tempuh cari ikan ke tengah lautan hingga 70 mil untuk menebar jaring tenggelam. Biaya yang diperlukan sekali melaut Rp 3 jutaan dengan bahan bakar solar 250 liter, hasilnya paling Rp 5 juta. Ini dibagi 8, yakni ABK 6 orang, kapal 2 bagian, maka penghasilan Rp 5 juta dipotong modal Rp 3 juta tinggal Rp 2 juta, yg Rp 2 juta ini dibagi 8, maka perpenghasilan Rp 45.000/hari," ujarnya.

"Kalau pukat langgai hanya main di 10 mil dari pinggir pantai, operasinya hanya 2 hari, modal melaut hanya Rp 600.000-Rp 1 juta, dan penghasilan nelayan biss dibawa pulang Rp 100.000-Rp 200.000/hari," kata Adi Aceh lagi.

Dijelaskan nelayan Pangkalanbrandan, hingga kini belum ada edaran penjelasan dari Dinas terkait tentang diperbolehkan kembali pengoperasian pukat cantrang bagi mereka.

"Dinas perikanan Langkat saat inipun masih bisu, hanya kabar lewat, bagi yang sudah memiliki izin pukat cantrang boleh beroperasi, tetapi pengurusan ijin baru ditutup. Andaikan pemerintah memperbolehkan beroperasi lagi pukat cantrang, kami minta dibantu peralatan tangkapnya, karena pukat yang lama sudah lapuk, lama tak digunakan dan banyak yang dijual kiloan jadi barang bekas," jelasnya.