MEDAN-Isu begu ganjang kerap dikait-kaitkan dengan orang “budaya” Batak. Padahal, tidak ada kaitan di antara keduanya. Terminologi begu ganjang yang diambil dalam bahasa Batak Toba, (begu berarti hantu dan ganjang artinya tinggi/panjang) tidak bisa dijadikan pembenaran.

Isu begu ganjang ini cukup unik. Entah darimana fenomena ini muncul. Entah siapa pula yang pertama kali menghembuskannya. Ia antara ada dan tiada. Selalu membuat orang dalam posisi percaya tak percaya. Yang pasti, sepanjang kasusnya tidak ada yang bisa dibuktikan secara hukum. Namun yang pasti dampak dari isu itu, seringkali telah menyebabkan banyak korban jiwa. Tragis! Ada yang dibakar, diusir dan dikucilkan.

Kita masih ingat dengan peristiwa pembakaran 3 orang warga Dusun Buntu Raja, Desa Sitanggor Kecamatan Muara, kabupatenTapanuli Utara, beberapa tahun lalu. Dipicu dengan tuduhan memelihara begu ganjang, ayah-ibu dan anak ini, dibakar hidup-hidup hingga tewas.

Dalam kebudayaan Batak (Toba) sama sekali tidak dikenal istilah begu ganjang. Di masa lalu, kata begu (hantu) bagi orang Batak Toba digunakan untuk mengacu kepada sumber penyakit. Istilah “sakit” memang sudah dikenal, namun tidak begitu dengan sumber penyakit.

Karenanya, setiap ada seseorang yang sakit, kerap disebut karena ulah begu. Apalagi orang yang mati mendadak, terutama anak-anak dan masih lajang. Padahal bisa saja ia terkena virus mematikan atau terjangkit penyakit yang memang belum dikenal di tempat itu.

Pemikiran seperti inilah yang rentan termakan isu begu ganjang. Hal itu semakin diperkuat dengan munculnya praktik-praktik perdukunan sesat yang selalu menggunakan simbol-simbol dalam kebudayaan Batak Toba.

Padahal, orang Batak Toba tidak mengenal dukun. Yang dikenal adalah parubat dan sibaso. Parubat adalah seorang tabib yang cakap meramu obat-obatan. Sedangkan sibaso adalah mereka yang dianugerahi kemampuan supranatural, yakni mereka yang mampu melihat masa depan dan masa lalu.

Biasanya mereka juga mampu berkomunikasi dengan jiwa (roh). Orang Batak Toba menyebutnya “hasandaran” orang yang bisa dimasuki roh nenek moyang. Kemampuan semacam ini pun sudah diakui dalam ilmu pengetahuan modern. Studi formalnya parapsikologis.

Dalam kebudayaan orang Batak Toba, jiwa atau roh itu dikenal dengan istilah tondi. Kata tondi itu kerap disandingkan dengan kata “sahala” menjadi tondi na marsahala. Kira-kira artinya, jiwa yang memiliki energi (positif). Bagi orang Batak Toba, jiwa tidak akan mati, sebagaimana tubuh.

Distorsi

Disebut-sebut, begu ganjang adalah roh jahat yang sengaja dipelihara. Tujuannya untuk mendatangkan kekayaan bagi si pemiliknya. Namun sampai kini tidak satu kasus pun pernah terbukti.

Menurut budayawan Batak Toba, Thompson Hs, dari berbagai literatur tentang budaya Batak Toba, tak satu pun ia temukan kata maupun hal yang menyinggung tentang sosok begu ganjang itu.

“Kalau kita lihat referensi, isu itu mencuat di tahun 90-an akhir. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkannya. Namun bila ditelusuri, biasanya kasus-kasus begu ganjang itu didasari dendam dan cemburu. Jadi isu itu adalah settingan,” katanya.

Hal sama juga disampaikan praktisi suprantarual dari Komunitas Pengobatan Alternatif dan Supranatural, Medan, Riduan Sianturi. Menurutnya, isu ini semakin berkembang karena dikait-kaitkan dengan simbol-simbol budaya Batak Toba. Sehingga isu ini hidup dan tumbuh seolah menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Padahal tidak ada kaitan di antara keduanya.

“Orang Batak itu sangat kuat memegang nilai-nilai tradisi mereka. Mereka juga sangat menghormati nenek moyang mereka. Itu karena mereka percaya roh nenek moyang tetap hidup. Namun kepercayaan itu sering diartikan sekelompok orang dengan hal-hal berbau gaib. Sampai-sampai kalau ada orang Batak yang mempelajari budaya Batak secara mendalam, dicurigai macam-macam. Begu ganjang itu adalah satu bentuk distorsi orang Batak terhadap budayanya,” jelasnya.