MEDAN-Usai pelaksanaan gelar perkara khusus di Bareskrim Mabes Polri, Senin (27/11), pelapor kasus dengan laporan polisi Nomor: LP 243/III2016/Bareskrim dan Nomor: LP 1640/XII/2016/SPKT II, Ishak M. Gurning, menyurati kuasa hukumnya dari LBH Jakarta.

Dalam surat bertanggal 30 Nopember 2017 itu, Ishak M. Gurning menyampaikan beberapa kejanggalan dari pelaksanaan gelar perkara di Bareskrim tersebut.

Diantara kejanggalan tersebut adalah bukti surat yang sudah diberikan ke penyidik yaitu fotokopi Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor: K/139/IX/2015/Ditreskrimsus dan fotokopi Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) Nomor: 594.114/8/1989, tidak dimasukkan sebagai bukti.

Padahal menurut Ishak, bukti SP2HP dan SPKT itu sangat penting dalam mengungkap peristiwa yang dilaporkannya.

Seperti diketahui, dalam LP 243, Ishak M. Gurning sebagai salah satu Pendiri Yayasan Pesantren Modern Daar Al-Uluum (PMDU), melaporkan Taufan Gama Simatupang karena diduga menggelapkan aset Pemerintah Kabupaten Asahan yang telah diberikan hak pakai kepada Yayasan PMDU.

Taufan Gama diduga menggunakan alas hak tanah yang disinyalir palsu sehingga bisa terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah atas nama dirinya pribadi di atas objek tanah milik Yayasan PMDU.

Selain itu, dalam LP 243 tersebut juga disertakan dengan Pasal 266 KUHP karena Taufan Gama Simatupang diduga memberikan keterangan palsu dalam akta autentik, yaitu Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Bupati Asahan tahun 2015 kepada KPK .  

Dalam LHKPN Bupati Asahan tahun 2015, Taufan Gama Simatupang menyatakan bahwa lahan miliknya seluas 1.345 m2 diperolehnya pada tahun 1996 dari warisan, hibah dan hasil sendiri.

Sedangkan dari bukti dan saksi yang ada, lahan 1.345 m2 itu adalah bagian dari 6,62 Ha lahan aset milik Pemerintah Kabupaten Asahan yang sudah diberikan hak pakai ke Yayasan PMDU dan belum pernah dijual, diwariskan atau dihibahkan kepada siapa pun, sebagian atau keseluruhan.

Selain kejanggalan di atas, pelapor juga menyatakan dalam suratnya ke LBH Jakarta bahwa apa yang dilakukan ini hanyalah semata-mata demi penegakan hukum.

Sebagai salah satu pendiri Yayasan PMDU, pelapor mempunyai kewajiban untuk mengembalikan Yayasan PMDU dan seluruh asetnya kepada pemiliknya, yaitu umat islam (publik).

"Bukan seperti selama ini, yang sepertinya dikuasai oleh terlapor dan keluarganya," ujar Muhammad Afifuddin Gurning, anak dari Ishak M. Gurning dalam rilisnya.

Dalam surat tersebut, pelapor juga menyatakan bahwa dirinya dan juga anak-anaknya tidak akan bersedia menerima seandainya ada tawaran untuk duduk dalam kepengurusan Yayasan PMDU.

Kemudian dalam surat tersebut, Ishak M. Gurning juga mengadukan ke LBH Jakarta atas informasi yang dia terima pada tanggal 20 November 2017 bahwa pihak penyidik di Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara tidak mengirimkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara.

Informasi yang diterima pelapor, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang sudah dikirimkan ke Kejati Sumut pada tanggal 3 Mei 2016 (untuk LP 243) dan 5 Oktober 2017 (untuk LP 1640) ternyata tidak ditindaklanjuti penyidik dengan pengiriman berkas perkara.

"Sehingga dengan tidak adanya berkas perkara, tentunya akan menyulitkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan petunjuk ke penyidik. Selain itu akan menyebabkan ketidakpastian hukum dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dan independensi penyidik," sebut Afifuddin.

"Sebenarnya masih ada lagi beberapa kejanggalan yang ditemukan pada saat gelar perkara khusus di Bareskrim itu, namun hal ini menurut pelapor tidak bisa disampaikan ke publik, karena terkait langsung dengan materi penyidikan," sambungnya.

Atas serangkaian hal tersebut, pelapor dalam suratnya memohon kepada LBH Jakarta sebagai kuasa hukum pelapor agar mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan demi terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan.