JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Menurut Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing, keputusan KPK menjerat kembali Setnov tentunya disertai bukti-bukti yang amat kuat.

?Sebab, dia meyakini KPK telah belajar dari pengalaman sebelumnya sewaktu dipecundangi Ketua Umum Partai Golkar itu melalui praperadilan.

Apalagi, KPK tak memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bila sudah menetapkan tersangka.

"Berdasar kepada pengalaman tersebut, saya pikir KPK telah melakukan kajian holistik dalam menetapkan tersangka Novanto," ujar Emrus seperti diberitakan Krikom, Sabtu (11/11/2017).

Terkait dengan kemungkinan Setnov kembali melakukan praperadilan, Emrus memprediksi sangat kecil mantan Bendahara Umum Partai Golkar itu akan kembali memenangi upaya hukum tersebut.

"Dengan demikian karena tidak ada SP3, maka tinggal menunggu waktu menjadi terdakwa," paparnya.

Emrus menambahkan, status tersangka yang melekat pada Setnov itu pun dipastikan akan mempengaruhi konsentrasi Setnov dalam memimpin Golkar yang akan bertarung di Pilkada serentak 2018.

"?Melihat fenomena tersebut, Setya Novanto sudah tidak lagi secara full Time memimpin Golkar karena menghadapi masalah sendiri pun Novanto harus berfikir yang eksta," pungkas Emrus.

Diketahui, Setya Novanto kembali ditetapkan tersangka oleh dalam kasus e-KTP pada Jumat (10/11/2017). Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

?Ini kali kedua KPK menjerat Setnov dalam kasus ini. Pada penetapan tersangka perdana pada 17 Juli 2017, Setnov melakukan perlawanan hukum dengan melalui mekanisme praperadilan.

Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Setnov dikeluarkan KPK pada 31 Oktober 2017. Sedangkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tertanggal 3 November 2017 atas nama Setnov telah beredar di kalangan wartawan sejak Senin (6/11/2017).***