"PAK Jokowi tolong kami, kami rakyat kecil terdzolimi. Kami pemulung yang tak mendapat keadilan dan kesejahteraan dari pemerintah setempat," teriak puluhan warga yang bekerja sebagai pemulung di depan kantor DPRD Sumut, Senin (23/10/2017), sekira pukul 11.00 wib.

Siang itu, puluhan pemulung yang berasal dari Selambo dan Helvetia mendatangi kantor perwakilan dewan Sumut guna mengadukan nasib mereka yang merasa terdzolimi oleh pemerintah setempat. Berapa dari mereka hingga kini masih ada yang tidak mendapatkan kartu kesehatan gratis, kartu keluarga, kartu berobat gratis dan tempat tinggal yang layak, padahal hidup mereka dibawah garis kemiskinan.

Bayangkan saja, tempat tinggal mereka pun masih tak layak huni. Ada yang menumpang di tanah orang dan bahkan ada yang tinggal di tanah garapan yang sering kali diusir. Salah satunya adalah Cornelius Siphutar, putus sekolah sejak tagihan 2015 di SMK Eka Prasetya Helvetia. Sejak itulah Cornelius tak lagi mengecam pendidikan karena tak ada biaya sekolah.

"Aku tak sekolah lagi karena tak ada biaya pak," ujarnya.

Lain hal dengan Oloan Tambunan, yang tidak di pull Damri Amplas. Pria berusia 68 tahun ini kata dokter menderita sakit kanker kulit selama sebelas tahun.

"Sudah capek aku mengobati penyakit ku ini, tapi setiap kali mau urus surat gratis berobat tak pernah bisa. Ntah mau kemanalah aku mau minta tolong, mungkin dengan bapak wakil rakyat ada jawabannya. Semoga lah," ujarnya sembari menahan sakit di daerah mata dengan luka yang basah.

Belum lagi kata Sondang Siregar, anakku lima tak sanggup untuk bayar BPJS Mandiri.

"Kalau sakit ya cuma bisa beli obat warung lah, kapan kami mau sehat pak," katanya pada Sutrisno Pangaribuan anggota Komisi C DPRD Sumut, yang siang itu menjumpai para pemulung mendengarkan ketujuh kesah mereka.

"Tidak terdata oleh tim, mereka tidak serius mengatasi kemiskinan dan kesehatan para rakyat jelata. Rudiaman Purba misalnya, pernah mengurus kartu BPJS kesehatan di kantor BPJS Deliserdang, diurus namun tak juga online sejak kemarin. Padahal sudah dua tahun menderita TBC," ungkapnya.

"Banyak yang tak sanggup bayar BPJS Mandiri. Kami sehari-hari paling dapat duit untuk beli beras sekilo untuk nahan satu keluarga. Belum lagi kebutuhan sekolah dan kontrakan rumah. Tidak ada pihak kelurahan yang mendata, ada yang tidak di rumah tak layak bekas kandang lembu. Numpang tinggal di tanah garapan. KIS tak bisa terpakai lagi karena tak bisa dibayar. Waktu itu ngurus karena anak sakit. Daripada bayar rumah sakit bagus urus KIS," timpal Purba yang juga diaminkan Nuraida.

Japorman Purba, sopir yang sakit struk tak bisa berobat karna KIS ditarik saat ambil cicilan desa maju.

"Batuk darah, saya minta KIS saya kembali," kata warga Dusun IV Karya Helvetia.
Lain lagi dengan Dermawati 40, warga Selambo. Sudah dua anak tak punya kartu keluarga, suami meninggal ayah setahun lebih.

"Sudah pergi ke Kepling Lingkungan VI, Somad, Kelurahan Desa Marindal II Kecamatan Patumbak. Tak ada surat pindah dari Jambi, saat menikah dulu," katanya.

Sutrisno Pangaribuan fraksi PDIP menanggapi masalah ini sebagai ketidak pedulian pemimpin pada rakyatnya.

"Sepanjang tak data di indeks boleh direkam ulang. Ini menunjukkan bahwa kepala daerah tidak begitu perduli dengan apa kebutuhan rakyatnya. Ini tugas negara, meski tak pakai surat pindah yang hanya sebagi prosedur saja," ujar Pangaribuan.

Masih kata Pangaribuan, mungkin tim survey sudah mendatangi rumah mereka sekali atau bahkan lebih. Mungkin yang punya rumah tak ada, tapi itu bukan alasan. Karena saat reses kemarin permasalahan inilah yang diangkat. Karena idi saya sudah berkordinasi dendam salah satu asisten di Kementerian PMK. Seluruh data yang kita dapat ini akan dikirim ke mereka. Bagi mereka pesta BPJS Mandiri yang tidak sanggup bayar akan kita alihkan untuk kesehatan gratis," tutupnya.