MEDAN-Belakangan ini sering ditemui ada banyak masyarakat Indonesia yang menutup jalan baik untuk kepentingan umum ataupun pribadi. Namun akibatnya tidak sedikit yang terganggung bahkan tidak jarang juga melakukan celaan.

Pada umumnya, masyarakat menutup jalan karena pesta, kemalangan, atau kegiatan lainnya. Alasan ditutup karena halaman rumah tidak luas atau karena berhadapan dengan jalan.

Atas fenomena itu, Pakar Fikih Perkotaan Sumatera Utara, Dr. H. M. Jamil, MA mengatakan, hukum menutup jalan dari perspektif hukum Islam harus dilihat dari banyak segi.

Ada beberapa dalil yang mesti dikemukakan sebelum menyimpulkan hukum menutup jalan, misalnya jangan mengganggu orang lain, menghilangkan gangguan di jalan merupakan bagian dari iman.

“Menutup jalan harus mematuhi peraturan yang ada. Menurut ulama, ada dua syarat dibolehkan, yaitu ada jaminan keselamatan dan mendapatkan izin dari pihak berwenang serta juga mengedepankan kaidah-kaidah fikih,” katanya dalam acara mukazarah di sekertariat MUI Sumut.

Dr Jamil, yang juga Ketua Umum MUI Binjai menyampaikan, jika mereka yang menutup jalan tapi membuat kesusahan orang lain, tidak mengikuti aturan yang ada serta kaidah fikih, haram hukumnya, kecuali dalam keadaan darurat dan ada jalan alternatif untuk dilalui.

Maka, sambungnya, upayakan semaksimal mungkin untuk menggelar acara tidak menggangu lalu lintas dan tidak menutup jalan, kecuali darurat. Ingat, keluh kesah, ocehan, celaan, bahkan kutukan pengguna jalan yang terganggu akan berdampak tidak baik.

”Jika harus menutup jalan, ikutilah aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan pemerintah yang ada,” tandasnya.

Mukazarah yang digelar MUI Sumut ini diikuti ratusan umat muslim dari seluruh penjuru Kota Medan atau dari luar kota. Selain membahas hukum menutup jalan, mukazarah ini juga membahas hukum menghadiri undangan dengan narasumber H. M. Tohir Ritonga, Lc. MA.