BATUBARA - Nelayan tradisional di Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara menyiapkan "Aksi 129" atau unjuk rasa besar-besaran pasa 12 September untuk menolak operasional pukat harimau. Dalam unjuk rasa tersebut, nelayan akan menggabungkan diri dalam Masyarakat Nelayan Tradisional Batubara (Mantab).

Sabaruddin, Koordinator Mantab Kecamatan Talawi di Batubara, Minggu (3/9/2017), mengatakan, dari koordinasi yang dilakukan, ada sekitar 1.000 nelayan yang akan bergabung dalam unjuk rasa tersebut.

Pihaknya akan memberitahukan rencana unjuk rasa tersebut ke pihak kepolisian yang direncanakan akan menuju kantor bupati, DPRD, dan Mapolres Batubara.

Menurut Sabaruddin, unjuk rasa tersebut untuk mempertanyakan kembali realisasi janji forum komunikasi pimpinan daerah di Batubara dalam memberantas penggunaan pukat harimau.

Masyarakat nelayan tradisional di Batubara beberapa kali dijanjikan bahwa praktik penggunaan pukat yang melanggar aturan dan merusak kehidupan laut itu akan dihentikan.

Pada tahun 2016, pihak kepolisian dan pemangku kepentingan di bidang kelautan pernah menjanjikan bahwa masalah itu akan diselesaikan pada lama Desember 2016.

Karena pukat harimau masih merajalela di perairan Batubara, nelayan tradisional kembali mempertanyakan masalah itu pada Juli 2017.

Dalam unjuk rasa itu, diadakan pertemuan dengan DPRD Batubatara yang dihadiri Ketua DPRD Selamat Arifin, Ketua Komisi B Fahmi, pejabat Pemkab Batubara, Polres Batubara, TNI AL, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Tanjung Tiram, dan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan.

Dalam pertemuan yang dihadiri oleh hampir seluruh instansi terkait itu, nelayan tradisional kembali dijanjikan bahwa masalah pukat harimau tersebut akan selesai pada September 2017.

Karena itu, nelayan tradisional Batubara menyiapkan Aksi 129 untuk mempertanyakan realisasi janji tersebut. "Kita ingin mendapatkan kepastian bahwa pukat harimau tidak ada lagi mulai Oktober," katanya.

Didampingi sejumlah nelayan tradisional, ia menjelaskan, penolakan terhadap operasional pukat harimau bukan hanya karena melanggar aturan, tetapi kapal besar itu disebabkan sering menabrak jaring nelayan tradisional.

Selain menyebabkan nelayan tidak mendapatkan ikan, tindakan itu juga menyebabkan nelayan tradisional tidak dapat melaut lagi karena jaringnya rusak dan harus mengeluarkan uang lagi untuk membuat jarinh baru.

Sebagai warga negara yang baik, nelayan tradisional di Batubara selalu berupaya untuk menempuh jalur yang ditentukan UU dengan menyampaikan masalah ke DPRD dan pihak kepolisian.

"Tapi ini masalah `perut`, masalah nasib anak bini (istri) kami. Kalau pukat harimau masih beroperasi juga, kami tak tahu bagaimana lagi," katanya.