JAKARTA - Wacana penggunaan dana haji oleh pemerintah guna mendanai Infrastuktur, DPR meningkatkan agar hati-hati. Hal ini diungkapkan Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PAN, Ali Taher Parasong dalam Diskusi Forum Legislasi dengan tema 'Investasi Infrastruktur bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Selasa (1/8/2017).

"Dari perspektif DPR, maka menurut kami berdasarkan undang-undang 34 tahun 2014 tentang badan pengelolaan haji, itu sudah tegas dan jelas mengatakan bahwa, dana penggunaan dana haji ini ada beberapa unsur penting yang harus kita perhatikan," ujarnya.

Pertama kata dia, pada Pasal 2 dikatakan, prinsip penggunaan dana haji harus syariah, yang kedua prinsip kehati-hatian, yang ketiga manfaat, yang keempat nirlaba, yang kelima transparan dan yang keenam harus akuntabel.

"Kemudian Pasal 3 juga mengatakan, bahwa pengelolaan dana haji itu bertujuan tiga hal, satu peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, itu pokok. Kemudian yang kedua rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH. Yang ketiga manfaat bagi kemaslahatan umat islam. Dalam perspektif itu, aspek legalitasnya sudah jelas bahwa ini hanya diperuntukan bagi jamaah haji dan kepentingan umat Islam," tukasnya.

Jika mengacu pada Pasal 26, katanya, untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPIH maka dalam mengelola keuangan ibadah haji harus secara transparan dan akuntabel. "Ini karena ada tanggungjawab besar kepada jamaah haji dan kemaslahatan umat islam," tandasnya.

"Dan jika dilihat dari Pasal 48, pesan saya kepada para pengawas BPKH terpilih ini modal kerja, inilah modal kerja kalian untuk melaksanakan tugas. Pasal 48 mengatakan, penempatan atau investasi keuangan haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainya," paparnya.

Pada Nomor 2, dari Pasal 48, penempatan atau investasi keuangan haji sebagaimana yang dimaksud pada saat itu dilakukan sesuai prinsip syariah, dengan memperrtimbangkan aspek keamanan dan kehati-hatian nilai manfaat dan likuiditas.

Pertanyaannya kata dia, jika penggunaan dana itu diberikan kepada pemerintah, apakah dibolehkan? "Seumpamanya, kemudian menjalankan kegiatan infrastruktrur, siapa BUMN? Apakah selama ini politik anggaran BUMN untung atau rugi. Seandainya kalau rugi, investasi ini prinsip kehati-hatiannya dimana, prinsip syariahnya dimana," tanyanya.

Oleh karena itu menurut pandangannya, bukan berarti DPR menolak, tetapi prinisp kehati-hatian, prinsip syariah, dan prinsip manfaat harus dikedepankan secara benar, baik secara undang-undang.

"Maka menurut Komisi VIII sudah jelas UU memberikan amanat untuk itu. Yang kedua, peraturan pemerintah untuk investasi tidak ada. Jadi aspek pelaksanaannya belum ada, sementara business plan dari badan pelaksana maupun badan pengawas belum juga dibuat. Karena apa, BPKH saat ini belum punya kantor yang jelas, kemudian belum ada fasilitas yang memadai. Apalagi menurut pandangan saya, mitra kerja Komisi VIII baru BPKH pengawas. Sedang badan pelaksana belum, ini otoritasnya pemerintah," tukasnya.

"Sehingga menurut saya setelah reses ini kita mengajukan dalam rapat paripurna kepada pimpinan DPR, untuk bisa menempatkan posisi mitra kerja BPKH pelaksana dan pengawas," pungkasnya. ***