BANJARMASIN - Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Willy Pramudya, mengungkap peredaran hoax di media massa pers semakin mengkhawatirkan, yaitu mencapai angka 8,5 persen. Data itu diungkapkan oleh Willy berdasarkan survey Masthel, saat menjadi narasumber dalam kegiatan Visit Media Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Selatan di TVRI Kalimantan Selatan, Rabu (26/7/2017).

"Untuk televisi angkanya mencapai delapan koma lima persen, sedangka di media cetak sebesar lima persen," kata Willy.

Tingginya angka peredaran hoax, lanjut Willy, tak lepas dari sikap tak profesional yang dijalankan awak media massa pers. "Misalnya, mereka membuat berita berdasarkan apa yang ada di media sosial dan tidak melakukan pengecekan kebenarannya," tambahnya.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, Willy mengingatkan redaksi media massa pers untuk selalu tunduk dan patuh terhadap apa yang berlaku dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Sementara kepada masyarakat, khususnya di isu-isu seputar terorisme, diharapkan adanya sikap kritis dan apatis.

"Salah satu yang dilakukan BNPT adalah pendampingan untuk membentuk masyarakat basis yang mampu melawan hoax dengan kemampuan jurnalisme warga. Itu besok dilaksanakan di kegiatan Literasi Media," jelas Willy.

Anggota Ahli Pers Dewan Pers, Hasudungan Sirait, di kesempatan yang sama mengatakan, tingginya peredaran hoax tak kepas dari 'budaya berbagi' yang kebablasan di masyarakat.

"Sekarang dengan mudah masyarakat bisa menjadi pewarta, bahkan mengalahkan pewarta sebenarnya. Mereka membagikan apa saja yang dianggap menarik ke media sosial, dan dibagikan kembali oleh masyarakat lainnya, sementara apa yang dibagikan itu belum terkonfirmasi kebenarannya," ungkap Hasudungan.

Kondisi ini menjadi sangat mengkhawatirkan karena sebagian media massa pers saat ini memiliki kecenderungan menjadikan media sosial sebagai rujukan dalam pembuatan berita. Dia juga mengatakan apabila lembaga pers tidak waspada, kondisi ini akan menggiring pers menjadi kendaraan kelompok pelaku terorisme.

"Tidak salah menjadikan media sosial sebagai sumber, tapi kaidah jurnalistik harus ditegakkan. Validasi dan konfirmasi wajib dilakukan sebelum menjadikan informasi di media sosial sebagai berita di media massa pers," tegas Hasudungan.

Visit Media merupakan salah satu metode yang dijalankan dalam kegiatan Pelibatan Media Massa dalam Pencegahan Terorisme. Satu metode lainnya adalah dialog Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat. Kegiatan ini sudah dan akan dilaksanakan di 32 FKPT se-Indonesia di sepanjang tahun 2017.

Pada tahun 2017 BNPT dan FKPT juga menyelenggarakan lomba karya jurnalistik, dengan tema besar kearifan lokal sebagai sarana pencegahan terorisme. (rel)