MEDAN - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait meminta agar pelaku kejahatan seksual yang diduga dilakukan ASL, 22, warga Jalan Rajamim Purba, Siantar Sitalasari, Pematang Siantar terhadap 7 siswanya dihukum pidana penjara minimal 10 tahun, maksimal 20 Tahun atau seumur hidup dan dikebiri. Hal ini, sebut Arist Merdeka, berdasarkan ketentuan UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU No. 23 Tahun 2002 dan menimbang latar belakang pelaku sebagai guru pembina pramuka yang seharusnya menjadi teladan bagi siswa-siswinya dan memberikan perlindungan terhadap korban, tidaklah berlebihan jika terduga pelaku dapat dikenakan hukuman tambahan fisik.

"Bahkan jika terduga pelaku terbukti memenuhi unsur kejahatan seksual dilakukan secara berulang-ulang terhadap korban maka terduga pelaku dapat dikenakan tambahan hukuman kebiri," kata Arist Merdeka, Kamis (20/7/2017).

Mengingat kasus-kasus kejahatan seksual di wilayah hukum Pematang Siantar dan Simalungun terus meningkat dan sudah berada pada situasi Darurat Kekerasan Seksual. Ditambah lagi penegakan hukumnya masih sangat rendah hanya karena keterbatasan saksi yang melihat, dimana kita masih diingatkan dengan salah satu kasus kejahatan seksual yang dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Siantar beberapa bulan lalu serta kasus kejahatan seksual bergerombol yang dilakukan tujuh orang pelaku terhadap seorang siswi dimana 3 orang pada saat ini masih dinyatakan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah salah satu bukti lemahnya rasa keadilan bagi korban.

Oleh sebab itu, sambung Arist, untuk menenuhi rasa keadilan hukum bagi korban dan menghindari bebas dari tuntutan serta membuat efek jera bagi pelaku, Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga pelaksana tugas dan fungsi keorganisasian dari Perkumpulan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pusat yang sejak tahun 1998 telah memberikan pembelaan, promosi dan perlindungan anak di Indonesia mendesak penyidik Polri Unit PPA Polresta Siantar untuk sungguh-sungguh menetapkan kejahatan seksual yang dilakukan terduga pelaku sebagai tindak pidana kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)

Karena itu Komnas PA mendesak Polresta Siantar membuktikan serta menerapkan ketentuan UU No. 35 Tahun 2014, jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan menanganinya secara luar biasa.

Belajar dari dua kasus kejahatan seksual terhadap anak yang ditangani Polresta Siantar, satu kasus diantara diputuskan bebas oleh PN Siantar dengan alasan keterbatasan saksi yang melihat dan satu kasus lagi pelaku masih dalam DPO Polresta Siantar.

"Komnas Perlindungan Anak segera menurunkan Quick Investigator Komnas Anak Tim Medan serta meminta LPA Kota Siantar dan Simalungun untuk mengawal kasus ini," pungkas putra kelahiran Siantar itu.