Sulawesi Tenggara-Masjid Agung Wolio adalah masjid bersejarah di Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Masjid yang bernama asli Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min tepat berada dalam bekas Kompleks Keraton Kesultanan Buton, Kota Baubau.

Masjid ini dibangun pada 1712 oleh Sultan Sakiuddin Durul Alam Kesultanan Buton dan merupakan lambang kejayaan Islam pada masa itu. Para ahli meyakini Masjid ini adalah masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Sejatinya ada masjid lain yang lebih tua dibangun pada masa Sultan pertama Buton, Kaimuddin Khalifatul Khamis (1427-1473). Namun, masjid itu terbakar saat perang saudara di Kesultanan Buton.

Selanjutnya, Sultan Sakiuddin Darul Alam, yang memenangi perang tersebut membangun Masjid Agung Wolio untuk mengganti masjid yang terbakar. Masjid berusia lebih dari 300 tahun ini tetap dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Baubau dan Kabupaten Buton.

Masjid tertua di Sulawesi Tenggara ini memiliki arsitektur yang sederhana. Ciri arsitektur Masjid Agung Wolio ini mengandung dua makna, yakni bagian ruang utama dan atap terdiri dari dua tingkat sebagai gambaran dua alam yaitu alam Sanghir (dunia) dan Alam kabir (akhirat). Kemudian, dinding masjid yang terbuat dari tembok permanen, bermakna sebagai benteng ketakwaan dan keimanan.

Masjid Agung Wolio juga memiliki banyak keunikan. Di antaranya, masjid ini tidak memiliki menara. Namun, di sisi utara berdiri sebuah tiang bendera yang ujungnya lebih tinggi dibanding puncak masjid. Tiang bendera itu didirikan tidak lama setelah masjid dibangun.

Kayu yang digunakan untuk tiang bendera tersebut dibawa oleh pedagang beras dari Pattani, Siam (Thailand). Dahulu setiap Jumat dipasang bendera kerajaan yang berwarna kuning, merah, putih, dan hitam di tiang tersebut.

Terdapat 12 pintu masuk ke dalam masjid yang salah satu di antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Pada bagian depan masjid -di sebelah timur- terdapat serambi terbuka. Di dalam masjid terdapat sebuah mihrab dan mimbar yang terletak secara berdampingan. Keduanya terbuat dari batu bata yang di bagian atasnya terdapat hiasan dari kayu berukir corak tumbuh-tumbuhan yang mirip dengan ukiran Arab.

Kayu yang digunakan untuk membangun masjid berjumlah 313 potong sesuai dengan jumlah tulang pada manusia. Jumlah anak tangga masuk masjid 17 buah, sama dengan jumlah rakaat salat dalam sehari.

Bedug masjid yang berukuran panjang 99 cm dianalogikan dengan asmaul husna dan diameter 50 cm dimaknai sama dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima Rasulullah. Pasak yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri dari 33 potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33 kali.

Di depan pintu utama di antara dua selasar terdapat sebuah guci bergaris tengah 50 sentimeter dengan tinggi 60 sentimeter. Guci itu terhunjam ke lantai semen berlapis marmer. Guci tersebut telah ditempatkan di situ sejak adanya masjid ini sebagai penampungan air untuk berwudu

Dari luar, Masjid Agung Wolio tampak sederhana. Masjid ini memiliki pondasi dan dinding batu, dengan bangunan berlantai dua terbuat dari kayu dan seng sebagai atapnya. Arsitektur khas Melayu sangat terlihat di masjid ini.

Hal menarik lain dari Masjid Agung Wolio adalah mitos soal sebuah lubang. Konon, ada satu lubang di dalam masjid yang bisa mengeluarkan bunyi azan. Konon pula, bunyi azan tersebut berasal langsung dari Mekkah.

Karena itu, masyarakat setempat percaya masjid yang memiliki panjang 20,6 meter dan lebar 19,4 meter ini dibangun di atas pusena tanah (pusatnya bumi). Pusena tanah tersebut berupa lubang yang berada tepat di belakang mihrab.

Namun menurut cerita Imam Masjid Agung Wolio, La Ode Ikhwan, lubang di masjid itu sebenarnya adalah pintu rahasia untuk menyelamatkan Sultan Buton jika diserang musuh. Di dalam lubang ada lima jalan rahasia ke sejumlah tempat di kompleks benteng.

Salah satu jalan rahasia itu ada yang tembus ke selatan benteng. Ketika masjid ini direhabilitasi pertama pada masa Sultan Muhammad Hamidi pada 1930-an, pintu gua ditutup semen sehingga liangnya menjadi kecil dan sebesar bola kaki. Agar tak menimbulkan persepsi lain dari masyarakat, lubang ditutup dan di atasnya dibuat tempat imam memimpin salat.