MEDAN-Tingkat kemampuan atau daya beli petani Sumatera Utara (Sumut) kembali terpuruk akibat melempemnya kinerja sejumlah komoditas perkebunan dan hortikultura. Daya beli petani yang tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) tersebut, kini angkanya sudah di bawah 100.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, NTP Sumut pada Mei 2017 tercatat sebesar 99,07 atau turun 0,49% dibandingkan NTP April 2017 sebesar 99,56.

"Penurunan NTP Mei 2017 disebabkan turunnya NTP pada subsektor hortikultura sebesar 0,14 persen dari 94,26 menjadi 94,13. Selain itu, subsektor tanaman perkebunan rakyat yang turun 1,95% dari 99,18 menjadi 97,24 juga ikut memberikan andil dalam penurunan daya beli petani Sumut," kata Kepala BPS Sumut Syech Suhaimi di Medan.

Sedangkan NTP subsektor lainnya, kata dia, yakni tanaman pangan (padi dan palawija) naik sebesar 0,63%, subsektor peternakan naik sebesar 0,22% dan subsektor perikanan naik sebesar 0,37%.

Dikatakannya, NTP yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (dalam persentase), merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

"Karena itu, semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani, begitu juga sebaliknya," kata Suhaimi.

Pada Mei 2017, kata dia, berdasarkan pemantauan harga-harga perdesaan di Sumut, NTP yang turun 0,49% disebabkan oleh kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian.

Penurunan daya beli petani akibat anjloknya harga komoditas yang dihasilkan, menjadi kabar buruk bagi petani dan pertanian Sumut.

"Meski untuk subsektor hortikultura ada plus minusnya. Penurunan harganya membuat konsumen senang dan laju tekanan inflasi terjaga. Tapi tetap butuh upaya ekstra agar petani di subsektor ini tidak terpuruk," kata pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin.

Sumut, kata dia, memang tidak memiliki upaya konkret untuk menyerap produksi pertanian karena minimnya instrumen dalam mengendalikan pasokan. Padahal, sudah seharusnya di Sumut ada cold storage yang bisa menjadi gudang penyimpanan produk petani.

Selain itu, Sumut juga tidak mampu sepenuhnya membuat kebijakan yang edukatif serta mampu mengorganisir petani sehingga bisa memetakan pola tanam yang berkesinambungan.

Dengan kemampuan analisis petani yang terbatas dan mudah panik, mengakibatkan banyak yang spekulatif dalam bercocok tanam. "Inilah yang perlu diluruskan. Petani perlu dibekali pengetahuan yang lebih luas sehingga tidak terjebak pada pola-pola yang sama dan sangat rawan mengalami kerugian," jelasnya.

Terkait petani subsektor perkebunan khususnya karet dan sawit, memang akan tetap bergantung pada permintaan dari luar negeri. Salah satu yang bisa dilakukan untuk meminimalisir kerugian petani adalah melakukan intensifikasi dalam pengembangan industri hilir sehingga konsumsi domestik bisa ditingkatkan.

"Memang bukan pekerjaan mudah. Upayanya sejauh ini masih sebatas pengembangan infrastruktur pendukungnya saja. Padahal yang dibutuhkan lebih dari itu. Juga harus ada upaya menarik investor agar berminat membangun industri hilir. Sehingga Sumut tidak bergantung sepenuhnya pada komoditas mentah," kata Gunawan.