JAKARTA - Direktur Eksekutive Indonesia Development Monitoring (IDM), Fahmi Hafel mengungkapkan, pemerintahan Joko Widodo kurang cerdas dengan mudah di bohongi 11 konglomerasi sawit, dengan membuat Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan UU dan ada indikasi kerugian bagi pemberian subsidi kepada 11 Industri biodiesel.

Dana puluhan triliunan rupiah tersebut menurutnya dipungut dari hasil ekspor CPO. Pungutan yang sudah berjalan hampir dua tahun itu, katanya dilakukan tanpa ada kontrol jelas. Hal itu menurutnya berpotensi terhadap kemungkinan adanya produksi biodiesel bodong.

"Berpotensi adanya produksi biodiesel bodong," tegasnya dalam keterangan pers yang diterima wartawan, Sabtu (27/5/2017) di Jakarta.

Kasus biodiesel bodong ini, menurut dia tak jauh beda dengan dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diberikan kepada para bankir perampok dana pemerintah beberapa tahun lalu.

"Kesamaannya adalah sama-sama menguras uang negara yang susah payah dikumpulkan dan modusnya sama tipu.muslihat oleh 11 industri biodiesel berbahan baku CPO yang juga pemilik Pabrik Kelapa sawit dan Perkebunan sawit paling luas di Indonesia," terangnya.

Kasus biodiesel bodong tersebut menurutnya jamak terjadi di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Untuk itu, diharapkannya agar orang-orang? terdekat Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan yang benar terkait dugaan penyelewengan dana tersebut.

"Joko Widodo harus nya diberikan masukan yang benar terkait Industri biodiesel yang banyak menyedot duit negara diera SBY," desaknya.

Akibat dari banyaknya uang negara yang disedot dari industri biodiesel tersebut, lanjutnya, akhirnya pemerintah menerapkan pungutan ekspor (PE). PE tersebut diakuinya sangat merugikan produsen kelapa sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di luar negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan kelapa sawit serta negara. 

"PE akan menekan harga di pasar dalam negeri sehingga menimbulkan disinsentif berproduksi bagi produsen CPO dan produk turunannya," imbuhnya. 

Hal ini menurut dia dapat berwujud pengurangan penggunaan input sehingga pemasok input juga mengalami imbas kerugian produsen. Khusus untuk kasus CPO, pengusaha penghasil CPO akan menekan harga tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan petani. 

"Jadi secara implisit, TBS juga terkena pungutan ekspor, meskipun petani tidak mengekspor," imbuhnya.

Selanjutnya, tambah Fahmi, penurunan produksi  CPO dan produk turunannya   menyebabkan ekspor CPO dan produk turunannya turun pula.  Penurunan ekspor  ini  mengakibatkan kebutuhan importir di luar negeri tidak terpenuhi. 

Bahkan, lanjut Fahmi, apabila penerapan PE oleh Indonesia ini menimbulkan guncangan harga di pasar  internasional, maka importir akan membeli CPO dan produk turunannya dengan harga lebih tinggi dari pada tanpa PE. 

"Penurunan volume ekspor ini juga berarti merugikan  pelaku bisnis di pelabuhan dan negara  juga  kehilangan devisa. Akhir nya bisa disimpulkan memang gampang betul kalau Presiden kurang cerdas di bohongi 11 konglomerasi sawit, bikin Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan UU. Ini malah main teken-teken aja tuh Presiden Enga makai mikir. Piye iki Sinuhun (bagaimana ini, red) Joko Widodo," pungkasnya. (rls)