JAKARTA - Penggerebekan 141 orang dalam pesta seks sesama jenis di Kelapa Gading, Jakarta Utara, mendapat komentar pedas dari Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Sodiq Mujahid.

Ia mengingatkan DPR agar jangan sampai membuat undang-undang untuk melegalkan LGBT.

"Jangan pernah terpikir untuk membuat undang-undang mengenai legalitas LGBT bahkan sebaliknya kita harus mencegah dengan keras dan menghukum dengan maksimum para pelanggar hukum tersebut," ujar Sodiq Mujahid dalam Diskusi Wartawan Kodinatoriat Wartawan Parlement dengan tema "UU No 4/2008, Mampukah Menjerat Para Gay", Selasa (23/05/2017) di Press Room DPR.

Politikus Gerindra ini juga meminta kepada aparat keamanan untuk lebih tegas dan lebih cermat dalam memberantas pelaku seks menyimpang ini. "Kepada aparat keamanan dan penegak hukum diminta lebih waspada,cermat, cepat dan tegas menindaknya," ujarnya.

Selain itu, Sodiq juga meminta kepada seluruh elemen masyarakat untuk mencegah makin meluasnya LGBT ini.

"Kepada seluruh masyarakat khususnya orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan para pemimpin lainnya untuk secara solid bersama-sama mencegah budaya ini," ujar Sodiq.

Politisi Gerindra ini juga menilai, perilaku homo seksual tidak Pancasilais. Artinya, pelaku penyimpangan seksusal bertentangan dengan pancasila.

"Kultur dan sejarah bangsa kita sebagai bangsa timur sangat beda dngn kultur dan sejarah bangsa barat khusus bangsa Indonesia kulturnya diperkuat dalam rumusan-rumusan Pancasila khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika kita masih berpedoman dengan UU dan Pancasila, maka tidak ada legalistas LGBT di Indonesia, kecuali pancasilanya diganti," paparnya.

Untuk itu, menurutnya semua pihak harus ketat dan konsiten menjaga jatidiri Indonesia tersebut sebagaimana diamanatkan oleh para pendiri bangsa. "Sekali kita lengah apalagi dengan segaja membuka pintu formal dengan legalitas maka hancurlah jatidiri bangsa Indonesia yang berakar pada nilai-nilai Pancasila tersebut," tegasnya.

Terkait penangkapan atau penggerebekan pihak Kepolisian terhadap pesta seks sesama jenis di Kelapa Gading tersebut katanya, tidak ada alasan harus dijerat dengan UU Pornografi tahun 2008. "Kenapa tidak, bisa dan sah-sah saja dijerat dengan undang-undang itu. Meskipun memang saat ini belum ada penegasan khusus ke mereka," paparnya.

Dipertegasnya, meskipun UU Pornografi seakan tak mampu membendung perilaku menyimpang tersebut, sejauh ini yang lebih penting adalah gerakan masyarakat mencegah praktek LGBT dan kekonsistenan aparat penegak hukum memberantas itu.

"Sambil jalan, maksimal (hukuman) 5 tahun, kita revisi UU antipornografi (agar lebih tegas lagi)," demikian Sodik.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Natalius Pigai yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut menjelaskan. Pihaknya dalam kasus LGBT tetap pada prinsip hak asasi manusia. "Saya tentu bukan membela atau mengiyakan praktik-praktik menyimpang seperti ini. Pertama memang, agama manapun di Indonesia melarang hal itu, namun saya lebih pada sosial dan kemanusiaan. Dimana mereka juga wajib mendapatkan hak-hak negara. Pemerintah punya kewajiban memberikan hak kerja, hak berbangsa dan bernegara," paparnya.

Namun demikian, saat ini katanya, kaum LGBT masih tersudutkan dan masih mengalami diskriminasi. "Terutama di lingkungan, tempat kerja dan lainnya. Bahkan mereka sering mendapat Perlakukan diskrimintif pada masalah penggajian, jabatan maupun yang lainnya. Untuk itu saya tekankan sekali lagi, negara juga harus memperhatikan hak-hak mereka," pungkasnya. ***