MEDAN-Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pengawas Pemilihan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan. Keputusan pengawas pemilihan bersifat final mengikat. Sementara, kedudukan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten/Kota yang bersifat semantara (ad hoc).

"Karena kedudukanya ad hoc, hanya diberikan kewenangan selama setahun. Jadi kewenanganya ad hoc juga. Menjadi PR (pekerjaan rumah/tugas) kami lembaga penyelesaian sengketa di tingkat provinsi untuk sengketa tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan untuk tingkat provinsi diselesaikan oleh Bawaslu RI," kata Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar, Jumat (19/5/2017).

Focus Group Discussion (FGD) dielenggarakan Bawaslu Sumut bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Sumut mengangkat tema Aspek Hukum Sengketa Pilkada dan Urgensi Peradilan Khusus Pemilu. Hadir dalam acara Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan, Anggota Bawaslu Sumut Hardi Munte dan Aulia Andri, Ketua APHTN-HAN Sumut Mirza Nasution, kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Fritz mengatakan, kewenangan Pengawas Pemilihan.

Secara teoritis, lembaga yang memiliki kewenangan mengadili tidak dapat berada di koridor yang sama dengan lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi. Jika kemudian Bawaslu diberikan amanat oleh Undang-Undang untuk bertransformasi menjadi lembaga yang melaksanakan kewenangan dalam peradilan khusus, maka pengawasan dikembalikan ke masyarakat.

"Jika Bawaslu bertransformasi menjadi lembaga peradilan, maka Bawaslu dipandang telah menemukan strategi pengawasan, yakni mengembalikan fungsi pengawasan dikembalikan kepada masyarakat, partai politik, lembaga lembaga independen penggiat Pemilu," katanya.

Anggota Bawaslu Sumut Hardi Munte mengatakan, implementasi Pengawas Pemilihan menjadi 'hakim' mnyelesaikan sengketa pemilihan menjadi refleksi perbaikan sistem dan tatacara penyelesaian sengketa. Disampaikanya juga, Panwaslih yang berlatar belakang dari berbagai disiplin ilmu harus menjadi hakim yang memutuskan sengketa dalam waktu paling lama 12 hari.

"Ada Panwas yang betul-betul, ada juga yang kemudian menjadi kasus yang menonjol, seperti Siantar dan Humbang Hasundutan. Jadi, Sumut cocok sebagai laboratorium Pemilu, untuk merumuskan pengaturan dan sistem beracara penyelesaian sengketa," katanya.

Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan mengatakan, FGD dilaksanakan agar mendapatkan masukan dan saran dari berbagai elemen masyarakat, sehingga menjadi pertimbangan bagi Bawaslu RI dalam merumuskan regulasi.

"Bagaimana formulasi yang tepat sesuai dengan amanah Undang-Undang, menghasilkan keputusan yang tepat. Kami harapkan hasil FGD ini menjadi bahan pertimbangan dalam membuat regulasi," katanya.

Ketua APHTN-HAN Sumut Mirza Nasution mengatakan, topik dalam diskusi sangat penting untuk memperkuat dan mengokohkan penegakkan hukum dan demokrasi. Penting dilakukan peninjauan ulang (review) terhadap sistem dan pelaksanaan kewenangan penyelesaian sengketa oleh Pengawas Pemilihan, sehingga menjadi laebih baik.

"Apalagi, putusannya final mengikat," katanya.