JAKARTA - Industri Pertahanan RI memerlukan adanya Auditor Teknologi, agar lebih transparan. Sebab, selama ini masyarakat hanya menerima informasi satu arah soal kemajuan industri pertahanan RI, tanpa bisa diverifikasi kebenarannya oleh masyarakat umum.

Hal itu diungkapkan pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie pada diskusi bertajuk "Penguatan Alutsista Melalui Transfer Teknologi" di Press Room Nusantara III Gedung DPR RI, Rabu (26/4/2017).

Menurutnya, ttidak adanya Auditor Teknologi yang mampu menjadi tolak ukur terhadap Industri Pertahanan negeri ini, menjadi penyebab utama terus berpolemiknya persoalan Alutsista di Indonesia.

Dicontohkannya pada PT Dirgantara Indonesia, membuat setiap adanya penawaran kerjasama dari produsen alutsista selain Airbus kepada PT Dirgantara Indonesia, selalu dilihat sebelah mata.

"Tidak adanya Audit Teknologi, PT DI demi menjaga monopoli Airbus, selalu berlindung di balik wacana adanya upaya asing mematikan BUMN unggulan kita," ujarnya.

Dirinya melanjutkan, Airbus cuma memberi PT DI izin lisensi selama 40 tahun kerjasama. Sementara ke RRC, Airbus beri kerjasama ToT 100%. "Kenapa PT DI manut saja 40 tahun kerjasama dengan Airbus, cuma dapat izin License. Ini aneh. Ada apa PT DI tetap senang sebagai Franchisee?" tanya Connie.

Seperti diketahui, RI sedang menerima sejumlah tawaran kerjasama Transfer of Technology (ToT 100%) datang dari beberapa pihak. Bahkan termasuk dari merk papan atas dunia yang siap membagi 100% teknologi canggihnya ke RI.

"Tapi seolah mentah karena PT DI selalu menuding tawaran ToT 100% sebagai cara asing membunuh industri pertahanan RI.” tegas Connie.

Sementara itu, Mantan Menristek Muhammad AS Hikam menilai, Alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Indonesia dinilai belum memiliki sistem yang mampu dipakai mempertahankan negara.

Menurutnya, perubahan sifat perang yang akan datang, membuat pertahanan yang semakin terbuka. Namun, Indonesia belum memiliki penguatan alutsista yang cukup canggih.

Ia menyindir, Indonesia hanya meyakini sistem pertahanan terhadap Tuhan, sehingga terlihat gagah perkasa. "Indonesia menjadi percaya, sepertinya gagah perkasa, saya kira hanya Tuhan yang menjadi benteng pertahanan," kata Hikam.

Sistem perang yang semakin terbuka, kata Hikam, semestinya Indonesia memiliki kekuatan atau pusat pertahanan negara. "Indonesia harus mempunyai pusat pertahanan. Negara-negara seperti Israel pun memiliki pertahanan secara khusus," tegasnya. ***