Ombeng tidak lagi mendengar suara Atuk Janggut dan suara amaknya, manakala orang-orang berpakaian rapi mendatangi kampungnya. Sepatu mereka mengkilat berwarna hitam. Rambut mereka juga mengkilat berwarna hitam. Ada yang disisir ke belakang, ada yang disisir ke samping. Sesuai selera masing-masing. Mereka datang dengan dua buah mobil mengkilat bewarna hitam. Penduduk kampung ikut ramai menonton orang-orang mengkilat serba bewarna hitam itu.

Satu orang dari mereka mengeluarkan HP, tapi Ombeng tidak tahu benda apa itu. Penduduk kampung yang pintar-pintar megerti kalau benda itu adalah HP. Tidak seorangpun dari penduduk kampung yang punya HP apalagi sebagus HP punya orang-orang mengkilat bewarna hitam. Mereka tahu benda itu HP dari sinetron-sinetron yang sering mereka tonton di lepau Mak Apih.

Orang yang sedang berbicara dengan HP tampak manggut-manggut. Mata kilatnya menyapu penduduk satu persatu. Dia berusaha melepas senyum tapi segera diurungkannya manakala melihat Ombeng ikut berkerumun diantara penduduk Desa Tanjung itu.

“Hei, kamu!” Telunjuk mengkilatnya mengarah ke Ombeng yang makin tertawa lirih. Mulutnya juga menceracau. Ombeng senang melihat telunjuk orang itu yang mengkilat. Jam tangan mengkilat tembaga seolah pongah di tangan orang itu.

Tak tahu apa maksud orang itu. Ombeng tidak pernah punya pemikiran yang spesial tentang orang asing. Baginya, orang asing adalah orang yang senang datang ke desanya, melihat-lihat sawah, lalu menunjuk-nunjuk ke arah bukit dan manggut-manggut melihat pohon kelapa dan pohon petai. Biasanya orang asing datang untuk membeli hasil pertanian untuk dijual mahal ke kota.

Ombeng bertepuk tangan. Mulutnya sudah penuh dengan asap rokok yang diberi Atak. Mulut hitamnya mulai meludah banyak ke tanah. Dadanya jadi terguncang karena batuk ikut bermukim di sana.

Orang-orang mengkilat itu memberi Ombeng sepuluh uang kertas bewarna merah mengkilat. Penduduk yang pintar-pintar tahu bahwa itu uang seratus ribu. Mata-mata mulai membelalak melihat tangan mengkilat itu meraih tangan Ombeng dan meletakkan sepuluh uang bewarna merah di telapak tangan tebal Ombeng.

“Ini uang satu juta. Ini baru tahap awal. Sepuluh hari lagi Bos kami akan datang.” Orang-orang mengkilat itu berlalu tak ada suara ramah tamah. Penduduk mengkerumuni Ombeng. Tak ada yang bertanya siapa yang memberi uang itu. Mereka diam. Ombeng diam. Tak ada yang hendak mengambil uang itu dari tangan Ombeng. Adalah haram bagi mereka mengambil harta anak yatim. Ombeng adalah anak yatim, juga piatu. Yatim piatu. Ombeng memberi satu lembar untuk Atak. Suka cita berseri tak dapat wajah Atak disembunyikan dari telapak tangannya yang menengadah ke langit. Ucap syukur baru dilantunkan Atak. Atak menganggap uang itu untuk melunasi hutang Ombeng selama ditinggalkan amaknya. Itu juga untuk membayar jasa Atak yang sering mengantarkan sepiring nasi untuk Ombeng makan. Termasuk satu gelas kopi panas untuk diminum Ombeng tiap pagi. Ada yang muncul rasa ingin mendapat uang merah mengkilat itu dari Ombeng tapi mereka tidak berani mengungkapkannya. Segera air ludah melewati tenggorokan mereka masing-masing. Rejeki Atak memang baik.    

Bagaimana mungkin Ombeng bisa membersihkan rumahnya jika tidak dibantu orang-orang baik di kampungnya. Rumah Gadang tua yang sudah semakin tua melebihi tuanya umur Ombeng. Juga melebihi tuanya amak Ombeng. Itu rumah punya ibu dari nenek Ombeng. Gonjongnya sudah banyak lapuk apalagi jika ijuknya semakin memudar, memperlihatkan lapuk gonjongnya. Ijuk itu hanya sekali ditukar amak Ombeng dengan membayar tukang untuk memperbaikinya. Tapi, tiang-tiang penyangga Rumah Gadang nya masih kokoh. Tiang itu melingkar sebesar pohon surian yang banyak tumbuh di desa Ombeng.

Orang-orang tidak ingin rumah itu rubuh karena masih ada Ombeng yang tidur mendengkur jika banyak minum minyak sebelum tidur. Ombeng suka minum minyak supaya nyamuk tidak ada yang meminum air liurnya jika menetes di sela-sela bibir hitamnya. Nyamuk itu akan langsung mati jika menjilati air liur Ombeng yang keluar di saat tidur. Itu keyakinan Ombeng.

Demi melihat cermin besar yang ada di belakang pintu kamar amaknya, Ombeng tidak ingin untuk tidak bercermin. Dia tertawa menceracau memperhatikan wajahnya yang sudah gagah menurutnya. Gigi kuning berkabut diperagakan terus olehnya di cermin. Orang-orang hanya menggeleng-geleng kepala melihat. Ada seorang bapak yang tidak pernah punya anak, menyisir rambut Ombeng dengan sisir kutu. Bapak itu memberi minyak di rambut Ombeng. Lalu menyisirnya lagi. Ombeng tahu kalau nyamuk tidak akan menggigit rambutnya karena rambutnya sudah diberi minyak. Ombeng mulai menggaya melihat rambutnya yang sudah tidak mengkilat hitam. Ombeng  makin yakin kalau dia makin gagah.

Pernah amak berkata saat Ombeng sering dibawa ke pasar untuk mengangkut belanjaan amak yang sedikit. Itu saat umur Ombeng empat belas tahun. Waktu itu amak bilang Ombeng itu anak gagah apalagi dipakaikan baju bagus bewarna biru tua. Amak suka menyisir rambut Ombeng ke samping. Memberinya minyak supaya makin mengkilat. Amak suka menepuk-nepuk pipi Ombeng dan Ombeng membalas tepukan amak dengan menceracau bahagia.

Tidak lagi Amak bisa memuji kalau Ombeng gagah. Tapi pikiran itu diwariskan Amak dalam pikiran ombeng. Mulai ia menepuk-nepuk pipinya yang sudah mengkeriput. Usia Ombeng tidak empat belas tahun lagi tapi empat puluh satu tahun. Urat-urat usia terus berpacu menembus daging terbakar matahari yang tetap membungkus tubuhnya. Berpacu dengan warna putih yang sudah menyapu banyak rambutnya.

Kembali Ombeng duduk termenung di jendela. Bukan wajah Amak kali ini yang menari di langit. Kulit itu mengkilat. Otot-otot badannya kencang. Bibir merahnya merekah seolah mengejek bibir Ombeng yang hitam. Selendang putihnya melambai-lambai memanggil Ombeng segera terbang mengikuti angin. Tawanya yang berderai mengalahkan tawa Ombeng yang hanya penuh ceracau. Panjang rambutnya ikut menyapu awan untuk memecah kesatuan menjilat langit. Dia tertawa. Ombeng menceracau. Sesuatu telah mengikatnya dengan Ombeng. Kali ini Ombeng tidak ingin meludah. Ceracau Ombeng makin keras bahkan sudah muncul bunyi ha ha ha dari mulut hitamnya. Begitu keras. Orang-orang mendengar suara tertawa yang makin keras. Segera orang-orang keluar rumah mencari asal muncul suara itu. Manakala diketahui berasal dari rumah Ombeng, segera orang-orang menggelengkan kepala. Ada apalagi dengan Ombeng? Rasa iba terus menjalar di hati orang-orang. Mereka tak ingin Ombeng terlalu keras dengan tertawanya karena itu akan lebih menyakitkan lagi.

Orang-orang terus mengarahkan cahaya dari senter butut ke jendela tempat biasanya Ombeng bersandar duduk. Tak tahan melihat Ombeng yang menyulam bahagia dalam indah khayalnya. Satu persatu orang-orang tumpah dengan air mata. Ombeng ingin kawin! Tapi siapa yang bersedia memberikan anak gadisnya untuk Ombeng? Orang-orang bersikeras tidak ingin memiliki menantu gila seperti Ombeng, yang tiap hari menceracau menjemput langit malam. Orang-orang tidak ingin memiliki cucu dari orang yang sudah tiga hari ini menjadi gila. Tapi tidak ada orang-orang yang tahu kenapa Ombeng tiba-tiba menjadi gila. Bahagia dalam gilanya melebihi orang gila yang sudah biasa memenuhi rumah sakit jiwa.

Ombeng gila dalam bahagianya. Bahagia mematut wajah Amak di langit malam. Bahagia karena Amak sudah memberinya sepuluh lembar uang merah mengkilat. Bahagia karena Amak sudah memperbolehkannya menyeberangi sungai Sinamar walau Ombeng tidak menggunakan kayu panjang untuk menyeberang. Bahagia karena Amak merestuinya kawin dengan gadis bayangannya di langit kelam. Ombeng tak hendak menyulitkan orang-orang di kampungnya untuk mengurus surat nikah di KUA karena Amak sudah menguruskannya. Dan Amak juga menjadi wali hakimnya menikahi langit kelam. (selesai)

Note:
Lepau = kedai
Suluh = obor yang terbuat dari bambu

----------------------------------------

Biodata Penulis

Lail Khair EL Rasyid, wanita berdarah Minang ini pernah menjadi pembicara pada beberapa pelatihan Jurnalistik. Pernah menjadi sutradara di beberapa Pagelaran Seni Islam di Kota Padang dari sebuah EO (event organizer) yang dikelolanya. Beberapa cerpen pernah dimuat di media cetak daerah dan nasional. Diantaranya; Semilir Angin Masjid Surau Gadang (Singgalang), Ku Mohon Ampunan Mu (Serambi Minang), Belenggu Sumpah (Serambi Minang), Perjalanan Seorang Nene (Majalah Al Izzah/ Jakarta), Istriku Seorang Detektif (Majalah Al Izzah/Jakarta), Mendung Tak Selamanya Kelabu (cerbung, Majalah TASBIH), penulis pada antalogi 4 Catatan Harian Minus Kata Syukur (2008), Keong-Keong Malin Kundang (Leutika Pro/Jogjakarta). Hingga saat ini, Lail aktif menulis cerpen bertemakan sosial serta puisi cinta. Baginya, cinta adalah topik yang tidak pernah habis-habisnya.

Email: lailkhair92@gmail.com

Facebook; Lail khair El Rasyid.

Biodata Penulis Lail Khair EL Rasyid, wanita berdarah Minang ini pernah menjadi pembicara pada beberapa pelatihan Jurnalistik. Pernah menjadi sutradara di beberapa Pagelaran Seni Islam di Kota Padang dari sebuah EO (event organizer) yang dikelolanya. Beberapa cerpen pernah dimuat di media cetak daerah dan nasional. Diantaranya; Semilir Angin Masjid Surau Gadang (Singgalang), Ku Mohon Ampunan Mu (Serambi Minang), Belenggu Sumpah (Serambi Minang), Perjalanan Seorang Nene (Majalah Al Izzah/ Jakarta), Istriku Seorang Detektif (Majalah Al Izzah/Jakarta), Mendung Tak Selamanya Kelabu (cerbung, Majalah TASBIH), penulis pada antalogi 4 Catatan Harian Minus Kata Syukur (2008), Keong-Keong Malin Kundang (Leutika Pro/Jogjakarta). Hingga saat ini, Lail aktif menulis cerpen bertemakan sosial serta puisi cinta. Baginya, cinta adalah topik yang tidak pernah habis-habisnya. Email: lailkhair92@gmail.com Facebook; Lail khair El Rasyid. - See more at: https://www.goaceh.co/berita/baca/2017/03/30/ombeng-bagian-1#sthash.Nndxydzj.dpuf