Sudah tiga hari Ombeng tidak mandi. Kulitnya makin berkabut, bajunya makin lusuh. Gigi kuningnya sudah berkarat coklat. Waktu dia memegang tiang lepau Atak, kuku hitamnya jelas nampak. Kalau bajunya disingkap mungkin panunya sudah banyak. Tiga hari tidak mandi bukan berarti hari-hari sebelumnya Ombeng rajin mandi. Dia mandinya kadang seminggu sekali atau tiga hari sekali. Lebih parahnya, pernah satu bulan Ombeng tidak mandi. Itu waktu amaknya meninggal kira-kira tiga bulan lalu.

Ombeng tidak mandi karena menurut dia mandinya sudah diwakilkan amaknya sewaktu orang-orang memandikan jenazah amaknya. Mandi amaknya itu kekal menurutnya. Waktu amaknya meninggal, Ombeng diam tidak mengeluarkan ceracau sedikitpun. Biasanya Ombeng berceracau kalau amaknya menyuruhnya mengambil air minum ke sungai di kaki bukit kampungnya. Ceracau Ombeng pertanda dia tidak susah dengan suruhan amaknya.

Ombeng diam saja memandang orang-orang memandikan jenazah amaknya. Sesekali dia mengerinyitkan hidungnya, mencongkel-congkel telinganya yang sudah makin berminyak dan berkabut, ditambah ada aroma tidak sedap di sana.

Waktu orang-orang bilang kalau amaknya akan dikuburkan, dan itu pertanda Ombeng tidak akan pernah melihat amaknya lagi untuk selamanya, Ombeng mengeluarkan tahi hidungnya lalu mengibaskan jari telunjuknya ke jari jempolnya, sesudah itu dia menggigit kuku tangannya sampai lepas. Orang-orang juga mengatakan kalau amak Ombeng harus dishalatkan sebelum dikubur, Ombeng membunyi-bunyikan gigi kuningnya lalu mengeluarkan air liurnya. Ombeng tetap saja melihat jenazah amaknya yang sudah dimasukkan ke liang lahat dan ditimbun.

Orang-orang pulang karena sudah selesai menyelenggarakan fardu kifayah. Ombeng ikut pulang juga sambil menepuk-nepukkan tangannya. Orang-orang hanya memandang tanpa ada yang bertanya.

Besok hari pasar, hari penuh ramai di kampung Ombeng. Hari orang-orang menjual banyak makanan dan pakaian, juga hari orang-orang menjual sapu, alat-alat dapur, dan alat-alat bertani. Orang-orang akan memakai baju yang bagus untuk ke pasar. Banyak bendi yang menunggu orang-orang untuk kembali ke rumah masing-masing selepas belanja.

Ombeng berjalan kaki ke pasar. Kakinya tidak ada sandal. Telapak kakinya sudah tebal karena berjalan hapir empat puluh tahun tanpa sandal. Tumit kakinya pecah-pecah bewarna hitam. Kuku kakinya semakin tebal kabutnya. Ombeng menginjak tahi kuda, tapi terus saja dia berjalan.

Ombeng menyeringai tertawa melihat orang ramai di pasar. Tangannya bertepuk riang. Sesekali ada desisan keluar dari mulutnya. Tidak jelas. Orang-orang memandangnya tidak ada yang bertanya. Ada yang melemparkan uang logam ke kakinya. Ada yang melemparkan kerupuk ke kakinya. Ada yang melemparkan roti berbungkus plastik ke tanah tempat dia duduk. Kerupuk bercampur tanah itu dikunyahnya sehingga berbunyi-bunyi. Roti berbungkus plastik itu dikunyah-kunyahnya sampai habis. Plastiknya dia buang saja. Uang logam itu diambilnya lalu dimasukkan ke dalam mulutnya sehingga dia merasakan tanah menempel di lidah dan langit-langit mulutnya. Lalu uang logam itu dikeluarkannya dari mulutnya dan dimasukkan ke dalam saku celananya.

Azan maghrib baru selesai terdengar. Orang-orang akan mulai menunaikan fardu’ain. Kampung tempat tinggal Ombeng mulai dingin karena berada di kaki bukit. Ombeng nampak masih duduk di jendela rumahnya. Jendela itu belum dia kunci. Di dalamnya hanya ada satu lampu minyak. Ada orang yang membantu menyalakan lampu minyak itu tapi tidak ada yang membantu mengunci jendela dari dalam karena Ombeng masih duduk di situ. Orang membantu menyalakan lampu minyak itu bukan berarti Ombeng tidak bisa menyalakannya. Hanya saja orang itu ingin membantu apa yang bisa dia bantu untuk Ombeng.

Ombeng menggerak-gerakkan bibirnya melihat langit yang makin kelam. Tidak ada bintang yang nampak. Mungkin sebentar lagi hari akan hujan. Sekumpulan kecil air keluar dari sudut matanya.  Sekumpulan kecil lagi juga ikut keluar. Ombeng menangis!  Beberapa kumpulan kecil air keluar lagi dari sudut mata Ombeng. Ombeng benar-benar menangis. Bunyi suara yang menghiba keluar dari mulut hitamnya. Suara itu makin menghiba. Terdengar makin memilukan seperti suara anjing melolong. Tetangga yang tinggal berjarak dua puluh meter mendengar suara pilu dari tangis Ombeng. Ada apa Ombeng menangis?

Beberapa orang mencoba keluar rumah. Langit makin kelam. Tapi tidak ada yang mendekat lebih dekat lagi ke rumah Ombeng. Orang-orang akhirnya menyimpulkan mungkin Ombeng teramat sedih karena tidak ada lagi keluarganya yang hidup bersama dia. Mungkin Ombeng sangat sepi. Tidak ada amak yang menanak nasi di dapur untuk dituangkan ke piring Ombeng. Orang-orang hanya tahu Ombeng tinggal beruda dengan amaknya sebelum amaknya meninggal. Tidak ada yang tahu siapa apak Ombeng, apakah Ombeng punya adik dan kakak atau tidak. Ombeng tinggal di kampung amaknya puluhan tahun lalu hanya berdua saja dengan amaknya. Dan tidak ada orang yang berusaha menanyakan pada amak Ombeng semasa hidup tentang siapa apak Ombeng dan berapa jumlah adik dan kakak Ombeng. Pantangan bagi orang di kampung itu untuk bertanya-tanya urusan pribadi orang lain yang tidak ada hubungannya bagi diri sendiri.

Pernah semasa Ombeng berumur tujuh tahun, dia hampir mati hanyut di sungai di kaki bukit. Sungai itu namanya sungai Sinamar. Sungai itu cukup dalam dan airnya bewarna kuning keruh. Waktu itu Ombeng ingin mendaki bukit itu. Untuk bisa sampai ke kaki bukit, harus meniti sebuah bambu yang berada di atas sungai. Kalau hujan, bambu itu akan licin. Biasanya orang-orang menggunakan kayu panjang yang ujungnya dimasukkan ke dalam sungai untuk menopang tubuh mereka ketika meniti sungai. Waktu itu Ombeng meniti sungai tidak menggunakan kayu pembantu. Ombeng terpeleset dan jatuh ke sungai. Syukurlah waktu itu ada seorang bapak yang hendak menyeberang sungai juga, melihat tubuh Ombeng hanyut. Dia berusaha keras menyelamatkan Ombeng. Untungnya Ombeng selamat dan dia diantarkan pulang ke rumahnya dalam basah kuyup. Amaknya memukul pantat Ombeng pertanda Ombeng tidak boleh menyeberang sungai.

Ombeng masih saja melolong melihat langit. Matanya meninggalkan bumi. Tak hendak diambilnya awan untuk menemani pilunya karena ditinggal amak. Tapi dia melihat amak di sana. Selendang putih yang biasanya dipakai amaknya berkibaran dipermainkan angin. Sirih memenuhi mulut amaknya yang terus bergerak-gerak. Mata amaknya kilau melihat Ombeng. Lalu tangan tuanya mempermainkan udara mengajak Ombeng naik ke langit. Ombeng tertawa kecil melihat polah amaknya yang lucu menurutnya. Dia juga ikut membelah angin, juga memanggil amaknya agar turun.

Pukul 09.00 WIB, bertepatan dengan dimulainya perburuan babi hutan di desa Ombeng. Tanjung, desa kesayangan Ombeng, terkenal dengan banyaknya babi hutan yang berkeliaran di bukit seberang sungai Sinamar. Kalau malam sudah semakin pekat, terdengar suara anjing-anjing menggonggong  keras. Itu pertanda ada babi hutan yang gentayangan di desa itu. Kawanan babi hutan itu juga menyelip diantara kandang-kandang ternak, mencari daging-daging segar yang akan mengeluarkan darah segar. Biasanya kaum lelaki dewasa akan keluar rumah, menyuruh istri-istri mereka untuk mengunci pintu dari dalam. Mereka membawa suluh untuk mengejar kemana arah babi hutan itu lari. Biasanya tidak ada korban manusia. Yang sering adalah banyaknya ternak warga desa yang mati seperti ayam dan kambing. Pagi hari, tepat jam itu, warga yang melampiaskan kekesalan mereka menyerang langsung tempat-tempat persembunyian babi hutan di bukit seberang sungai Sinamar.

Ombeng tidak ikut rombongan karena harus melewati sunga Sinamar. Hatinya sudah takut untuk menyeberang sungai itu. Ombeng hanya melihat dari jauh orang-orang mulai menyeberang sungai Sinamar untuk sampai ke bukit. Suara ribut anjing-anjing kampung itu memunculkan bahagia di hati Ombeng karena sebentar lagi babi-babi itu akan dimakan anjing. Ombeng yang juga sudah menaruh dendam pada babi-babi itu karena ayamnya dimakan oleh seekor dari babi-babi itu, ikut meneriaki para pemburu dengan ceracaunya. Baginya itu cukup.

Tak hendak Ombeng melepaskan rasa rindunya pada amak. Dia tahu kalau orang yang sudah ditimbun  dalam tanah tidak akan pernah muncul lagi. Dia tahu karena Atuk Janggut, imam masjid di kampungnya, mengatakan bahwa orang tidak pernah muncul lagi setelah ditimbun di dalam tanah.  Ombeng tampak suka dengan suara Atuk Janggut jika memimpin shalat. Dia sering meihat dari jendela masjid sewaktu ikut mengantar amaknya shalat maghrib di masjid Surau Gadang. Kini, Atuk Janggut tidak pernah lagi menjadi imam shalat di masjid kampungnya.

bersambung......

Biodata Penulis

Lail Khair EL Rasyid, wanita berdarah Minang ini pernah menjadi pembicara pada beberapa pelatihan Jurnalistik. Pernah menjadi sutradara di beberapa Pagelaran Seni Islam di Kota Padang dari sebuah EO (event organizer) yang dikelolanya. Beberapa cerpen pernah dimuat di media cetak daerah dan nasional. Diantaranya; Semilir Angin Masjid Surau Gadang (Singgalang), Ku Mohon Ampunan Mu (Serambi Minang), Belenggu Sumpah (Serambi Minang), Perjalanan Seorang Nene (Majalah Al Izzah/ Jakarta), Istriku Seorang Detektif (Majalah Al Izzah/Jakarta), Mendung Tak Selamanya Kelabu (cerbung, Majalah TASBIH), penulis pada antalogi 4 Catatan Harian Minus Kata Syukur (2008), Keong-Keong Malin Kundang (Leutika Pro/Jogjakarta). Hingga saat ini, Lail aktif menulis cerpen bertemakan sosial serta puisi cinta. Baginya, cinta adalah topik yang tidak pernah habis-habisnya.

Email: lailkhair92@gmail.com

Facebook; Lail khair El Rasyid.