JAKARTA - Angkutan Kota atau angkot selama ini kerap dipandang sebagai moda transportasi biasa. Tak ada yang spesial dari transportasi umum yang memuat sekitar 15 orang penumpang ini.

Siapa sangka, ternyata angkot bisa menjadi salah satu simbol kreativitas, penentu kesuksesan, magnet ekonomi, hingga simbolisasi status sosial.

Setidaknya bagi David Revee, seorang sejarawan sekaligus akademisi di bidang bahasa yang juga menulis buku bertajuk "Angkot dan Bus Minangkabau, Budaya Pop dan Nilai-Nilai Budaya Pop".

Ribuan angkot dan bus di kawasan Padang dan sekitarnya begitu menarik perhatian David. Transportasi-transportasi tersebut dinilai sarat kosakata yang dramatis.

Ia amat terkesan dengan angkot dan bus di Minangkabau yang kerap dipenuhi kreasi simbol, warna dan kata-kata. Tak ketinggalan, dashboard angkot juga kerap dihiasi boneka-boneka yang dilengkapi lampu hias. Membuat kendaraan tersebut menjadi amat meriah.

"Kelihatannya orang Minang sangat suka dengan dolls (boneka). Sampai enggak bisa lihat jalan. Sering disebut diskotek berjalan," tutur David dalam acara diskusi bukunya di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (24/3/2017).

David kemudian mengamati angkot-angkot dan bus-bus tersebut, kemudian mulai mencatat satu persatu tulisan yang ada di tubuh kendaraan tersebut serta mengambil gambar dari kendaraan-kendaraan yang menurutnya menarik untuk diteliti.

Ia mencatat setidaknya ada 780 macam "bahasa" angkot dan bus Minangkabau. 58 persennya menggunakan Bahasa Inggris, 31 persennya menggunakan Bahasa Indonesia, dan hanya 12 persen yang menggunakan Bahasa Minang.

Adapun dari 31 persen bahasa angkot yang menggunakan Bahasa Indonesia, mayoritasnya merupakan bahasa gaul.

Sementara untuk tema kreasi, David mencatat tema balap atau racing adalah yang paling banyak ditemukan. Angkot-angkot kerap dimodifikasi bak mobil balap, dengan dekorasi garis-garis di badan mobil serta dijadikan ceper.

Selain tema racing, tema transportasi udara dan laut, luar angkasa, budaya pop internasional atau figur internasional, serta figur kartun juga menjadi tema-tema yang paling banyak dijumpai pada dekorasi angkot Minangkabau.

"Budaya pop yang ada di angkot dan bus di Minangkabau dinamis, lucu, kreatif," kata David.

Membawa gengsi hingga strata sosial

Tak sekadar menjadi simbol atau "kanvas" kreasi semata, angkot-angkot dan bus-bus di Minangkabau juga membawa nilai ekonomi, gengsi hingga status sosial. David menuturkan, angkot gaul yang betul-betul bagus kerap mendapatkan keuntungan dua kali lebih besar dari angkot biasa.

"Ini semacam mengandalkan seni untuk tujuan mendapatkan duit," kata David.

Angkot yang supergaul, kata dia, bahkan memiliki penggemar sendiri. Sopirnya juga dituntut untuk gaul. Para penggemar itu dengan semangat srring berkeliling dengan sopir dan angkot favoritnya, kadang tak turun-turun.

Sebagian dari merek juga menyimpan nomor si sopir untuk kemudian dihubungi saat mereka mau naik dan berkeliling. Mereka rela menunggu demi menumpangi angkot favoritnya. Mayoritas penggemar tersebut adalah anak muda.

Karena itu, angkot dengan rute yang melewati sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, menurut David, juga merupakan angkot-angkot yang paling meriah kreasinya.

"Jadi harus laku. Harus disenangi oleh masyarakat muda. Itulah saya berani bilang bahwa nilai-nilai dekotasi harus tak hanya disenangi sopir tapi juga masyarakat," tutur David.

"Kalau ada yang tidak sukses, turun pendapatannya," sambung dia.

Mulai Punah

David amat menyayangkan, kreativitas yang dituangkan pada angkot dan bus di Minagkabau tersebut nampak tak begitu dianggap oleh masyarakat Minang sendiri. Bahkan kerap dianggap jelek dan mau ditertibkan.

David menuturkan, pertama kali ia ke sana, jumlah angkot mencapai sekitar 2.200 unit dan sekarang berkurang menjadi sekitar 2.000 unit Dua faktor yang menyebabkan angkot kian punah di tanah Minang, yakni karena adanya Transpadang dan kredit murah sepeda motor.

"Banyak yang naik angkot beralih ke kendaraan pribadi. Jadi saya kira angkot terancam," tuturnya.

Ia mencontohkan di negara lain, yaitu di Manilla, Filipina, angkutan kota justru dihargai dan dijadikan bagian dari atraksi Kota Manilla serta aset turisme.

Sempat mengunjungi sejumlah museum di Indonesia, David juga menyayangkan angkot-angkot dan bus-bus padang yang sarat simbol budaya pop justru tak dipajang.

"Saya ke bagian Sumatera Barat di Taman Mini, ada angkot? Tidak ada. Ada bus Minang? Tidak ada. Sayang sekali. Saya ke banyak tempat dan tidak menemukan apa-apa," tuturnya.

Sementara itu, di kesempatan yang sama, Sastrawan Seno Gumira Ajidarma menilai fenomena angkot dan bus Minangkabau memiliki nilai seni dan kebudayaan yang tinggi.

Tak berbeda dari para penyair yang membuat syair atau para lukis yang melahirkan lukisan. Sebab, kreasi-kreasi tersebut juga lahir dari ide di kepala seseorang yang kemudian ditumpahkan pada sebuah benda, dalam hal ini kendaraan.

Menurut dua, perlu ada perubahan cara pandang terhadap kebudayaan, bahwa kebudayaan tak mesti adiluhung namun juga seperti karya-karya seni pada tubuh angkot dan bus itu. Bahkan, lukisan-lukisan pada angkot dan bus di Minangkabau terbukti dapat membuat kendaraan tersebut lebih hidup.

"Sama saja. Ini sahih, legitimate. Bukan anak haram, adalah sebuah kebudayaan. Hanya saja mereka sebagai golongan, entah karena muda, entah karena kelas, dia tidak punya bahasa untuk bikin kolom, esai politik," tutur Seno.(kpc)