BANDA ACEH - Konsorsium LSM Pelindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) telah mengirimkan sebuah kritik terhadap laporan situs warisan dunia tersebut yang dibuat oleh pihak pemerintah Indonesia pada hari Senin, 20 Maret 2017, kepada UNESCO WHC. Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengirimkan laporan mengenai situs warisan dunia kepada UNESCO WHC yang jauh berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), merupakan paru p[aru dunia dengan luas mencapai 2,6 juta hektare, terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara ditetapkan sebagai salah satu kawasan tak tergantikan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN).

“Kritik kami menyoroti ancaman serius terhadap hutan-hutan yang ada di KEL. Beberapa di antaranya termasuk proyek-proyek PLTA dan pembangkit panas bumi yang diajukan di dalam kawasan penting KEL,” kata Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre (OIC), Jumat (24/3/2017).

Dikatakan, sebelumnya belum pernah ada ancaman sebesar ini terhadap kawasan terakhir dimana orangutan, badak, harimau dan gajah masih hidup bersama ini. “Kami mendesak pihak pusat warisan dunia untuk mengambil langkah darurat demi mencegah proyek-proyek tersebut dibangun di dalam KEL,” sebutnya.

Hingga kini, perusahaan Turki, PT. Hitay Panas Energy, terus melobi Pemerintah Indonesia untuk merezonasi kawasan inti KEL sehingga mereka dapat membangun pembangkit panas bumi di sana. Proposal mereka saat ini didukung oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Padahal, pada tanggal 30 September 2016, pihak Direktorat Jendral KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) telah menegaskan melalui surat No. 537/KSDAE/sa/Kum.8/9/2016 bahwa rezonasi di kawasan inti tidak dapat dipenuhi.

Akan tetapi setelah pemilu serentak bulan lalu, Gubernur Aceh terpilih, Irwandi Yusuf, telah berjanji untuk membatalkan sendiri Proyek Hitay tersebut. “Kami sangat mendukung janji Pak Irwandi. Akan tetapi kami juga khawatir karena Hitay terus melakukan rapat tertutup dengan pihak KemenLHK dan pemangku kepentingan lainnya untuk memanipulasi hukum di Indonesia sehingga proyek tersebut dapat berjalan,” ujar Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh, Farwiza Farhan.

Hal ini, katanya, telah memancing beberapa kali protes publik di Aceh dan di Jakarta. “Kami tidak akan hanya duduk diam melihat hutan kami dijual ke perusahaan asing dan akan terus mendorong pihak pemerintah untuk menolak proposal apapun yang merusak KEL,” tambahnya.                            

Tak hanya itu, beberapa proyek berskala besar untuk pembangunan PLTA juga diajukan di dalam dan di sekitar situs warisan dunia tersebut, seperti proyek PLTA sekitar daerah serapan air di Kluet, Tampur, dan Jambo Aye.