JAKARTA - Wakil Ketua MPR Mahyudin memberi pengantar dan membuka Sosialisasi Empat Pilar MPR dalam kuliah umum atau studium generale kepada mahasiswa Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis (23/3/2017).

Sosialisasi ini sendiri menghadirkan narasumber Hadi Mulyadi dari Fraksi PKS dan Ihwan Datuk Adam dari Fraksi Partau Demokrat.

Mengawali pengantarnya Mahyudin mengatakan Sosialisasi Empat Pilar MPR berbeda dengan penataran P4 pada masa Orde Baru. Sosialisasi Empat Pilar MPR adalah untuk me-refresh atau menyegarkan kembali pada ideologi Pancasila.

"Secara tidak sadar kita diganggu baik dari dalam maupun dari luar. Pemahaman kita terhadap ideologi tergerus melalui proxy war atau perang asimetris. Bukan perang konvensional tapi dengan cara merusak ideologi bangsa," jelas Mahyudin.

Melalui proxy war, lanjut Mahyudin, secara tidak sadar nilai luhur gotong royong tergantikan dengan paham individualistik. Maka, terjadi tawuran antar-pelajar, tawuran antar kampung. "Kita kurang menghormati kebhinnekaan," ucapnya.

Proxy war, tambah Mahyudin, juga menjadi perang ideologi dan ekonomi. Proxy war memasukkan ideologi radikalisme. Banyak orang yang diiming-iming masuk ISIS. Dalam perang ekonomi, Indonesia juga belum merdeka dan berdaulat.

"Buktinya Indonesia seharusnya sudah bisa menguasai Freeport. Tapi sampai sekarang belum. Padahal Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelola Freeport. Seperti ucapan Bung Karno, kita harus berdikari, berdiri di atas kaki sendiri," tukasnya.

Pada bagian lain Mahyudin menyoroti soal demokrasi di Indonesia. Demokrasi Indonesia semakin terbuka dengan pemilihan langsung, one man one vote. "Demokrasi Indonesia terbuka melebihi negara demokrasi seperti Amerika Serikat," ujarnya.

Namun, sambung Mahyudin, demokrasi belum berjalan dengan semestinya. Dia mencontohkan dalam pemilihan langsung, kelas menengah terpelajar memilih pemimpin berdasarkan visi misi, kualitas, kapabilitas, integritas.

"Tapi masyarakat bawah masih terpengaruh dengan "berjuang", memilih pemimpin berdasarkan beras, baju, dan uang. NPWP, nomor piro wani piro. Itulah demokrasi kita," imbuhnya.

Demokrasi terbuka bisa berjalan baik dan efektif di negara maju yang masyarakatnya sudah makmur. "Tapi bukan berarti demokrasi kita harus kembali ke belakang. Melainkan kita harus mencerdaskan rakyat," pungkasnya. ***