JAKARTA - Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) terjerat kasus dugaan penodaan agama akibat menyinggung Surah Al Maidah dalam pidatonya. Di mana pernyataannya tersebut disampaikan saat kunjungan dinas ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu.

Tak hanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang beradu argumen dengan kuasa hukum Ahok di persidangan kasus dugaan penistaan agama tersebut, saksi ahli bahasa yang dihadirkan dari keduanya juga 'perang'. Saksi ahli bahasa yang dihadirkan JPU dan penasihat Ahok saling memberikan kesaksian sesuai keahliannya.

Mahyuni, saksi ahli bahasa yang merupakan dosen di Universitas Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dihadirkan JPU, menilai konteks kalimat yang digunakan Ahok saat pidato di Kepulauan Seribu adalah menganggap Surat Al Maidah merupakan sumber kebohongan.

"(Iya), Al Maidah di sini dianggap menjadi sumber kebohongan," katanya di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Senin (13/2) lalu.

Dia menyebut, pidato Ahok keluar dari konteks tujuannya berkunjung ke sana. Saat itu, Ahok berkunjung dalam rangka budi daya ikan kerapu nelayan sesuai dengan program pemerintah.

"Itu out of konteks, sudah di luar pembicaraannya dari kunjungan kerja dari sebenarnya. Sebagai ahli menurut saya itu sudah pindah topik. Kalau bicara topik itu pindah topik. Topiknya itu adalah ke arah kampanye," jelasnya.

Bahkan, Mahyuni menegaskan, kalimat yang disampaikan Ahok seolah-olah kampanye di saat kunjungan kerja kepada warga di Kepulauan Seribu. Apalagi dari segi waktu juga memang tak terlalu jauh dengan masa dimulainya kampanye.

Mahyuni menambahkan, setiap perkataan yang dikeluarkan manusia pasti ada maksudnya, walaupun hanya pernyataan 'terpeleset'. Dalam kasus Ahok, Mahyuni mengatakan subjek biasanya sudah tahu maksud dan memiliki motif dalam mengucapkan suatu kata.

Selain itu, Mahyuni juga mengatakan kata 'pakai' tak terlalu penting dalam pidato Ahok. Sebab, sudah ada kata 'dibohongi'.

"Tetap alat untuk membohongi itu adalah surat Al-Maidah, karena kalau bicara dibohongi, berarti ada alat yang digunakan untuk berbohong, ada yang dibohongi, ada yang berbohong," kata Mahyuni.

Sedangkan saksi ahli bahasa Rahayu Sutiarti yang dihadirkan kubu Ahok, menilai tidak ada unsur penodaan dalam pidato Ahok di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 lalu. Menurutnya, apa yang disampaikan Ahok itu merupakan pengalaman yang pernah dialaminya. Sehingga saat menyampaikan pidato dalam kunjungan kerja tentang budidaya ikan kerapu tersebut, Ahok kembali menyinggungnya.

"Kata-kata surat itu hanya bagian cerita pengalaman dia. Itu juga berdasarkan fakta yang pernah terjadi," katanya di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/3) kemarin.

Dosen Universitas Indonesia (UI) ini mengaku, penilaiannya tersebut semakin diperkuat usai membaca buku karya Ahok yang bertajuk 'Merubah Indonesia'. Dalam catatan Ahok, mantan politisi Gerindra itu menceritakan pernah dijegal menggunakan selebaran yang berisikan tentang 'larangan memilih pemimpin non-muslim'.

Kemudian, Rahayu menilai tak ada unsur kampanye dalam pidato Ahok soal Surah Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Ia menjelaskan, penilaiannya tersebut merujuk kepada Kamus Bebas Bahasa Indonesia.

"Meski massa kampanye tapi tidak ada sama sekali, kalimat yang memberi kesan bahwa itu berkampanye," katanya.

Dia menjelaskan, pernyataan Ahok tentang Surah Al Maidah hanya sebagai pengandaian. Tujuannya sebagai penegasan guna menyampaikan pesan sesungguhnya saat mantan Bupati Belitung Timur itu berpidato.

"Ketika orang berpidato, dia bebas memberikan ujaran sebagai bagian dari pidato yang membahas itu. (Surah) Al Maidah hanya pengandaian. Kalau dihilangkan, bisa jadi kurang meyakinkan," katanya di dalam persidangan. (mdk)