MEDAN - Masyarakat di Sumatera Utara khususnya Kota Medan diminta agar jeli dalam membeli dan mengonsumsi jamu. Pasalnya, menurut Guru besar Farmakologi Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. dr. H.Aznan Lelo, Ph.D.,SpFKn, tak sedikit produsen jamu yang kerap mencampurkan berbagai macam bahan kimia ke dalam produk mereka. "Dari yang kita teliti, ada yang kita temukan mencampurkan macam-macam bahan kimia. Khususnya, hal itu pada obat (jamu) rematik," ungkapnya kepada wartawan, Rabu (1/3/2017) di Medan.

Tak hanya itu, sambung pria yang akrab disapa Buya itu, pencampuran bahan kimia juga ditemukan pada jamu gendong. Sulitnya pengawasan, memungkinkan kecurangan tersebut bisa sampai terjadi.

"Itu yang susah, karena jamu gendong dibuat sendiri di rumah. Yang mengontrolnya siapa? Kan tak ada. Hal ini karena orang kepingin langsung sembuh keluhan penyakitnya. Itu yang jadi kendala," jelasnya.

Padahal, Aznan menerangkan, dalam mengonsumsi jamu tersebut, apalagi dengan sesukanya, dapat berdampak buruk pada kesehatan. Seperti, memicu ginjal dan tulang keropos, jantung bengkak, muka bulat, cuci darah maupun naiknya tekanan darah bisa.

"Umumnya hal ini terjadi pada perempuan tua yang mengalami rematik. Karena mereka lebih percaya dengan kata orang atau temannya ketimbang kata dokter untuk penyembuhannya," sebutnya.

Karenanya, ungkap Prof Aznan, atas situasi yang terjadi itu, pemerintah harus dapat lebih memperketat setiap pengawasannya. Pasalnya menurut dia, hal ini juga merupakan penipuan kepada masyarakat.

"Pihak POM memang sudah sangat ketat dalam pengawasan. Tapi banyak pabrik-pabrik di Jawa sana yang secara ilegal mengatakan produknya sudah terdaftar padahal belum," ujarnya.

Namun, banyaknya pemakaian masyarakat pada jamu atau obat herbal, dikarenakan rasa putus asa yang mereka alami dalam masa pengobatan. Padahal, sudah mengeluarkan biaya mahal untuk kedokter, tetapi tak ada perbaikan sehingga akhirnya mencari alternatif.

"Dengan adanya BPJS memang kita syukuri. Meski dokter kerap kewalahan dengan jumlah pasien yang datang, selain pemerintah belum siap atas obat yang diperlukan," pungkasnya.