MEDAN - Penyidik Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) akan segera mengirim kembali berkas dugaan penyelewengan voucher bahan bakar minyak (BBM) truk operasional Dinas Kebersihan Kota Medan, Senin, (27/2/2017). Informasi dihimpun GoSumut, pihak Kepolisian akan mengirim berkas itu kembali dalam pekan ini setelah dilengkapi.

Kasubdit III/Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumut AKBP Dedy Kurnia, menjelaskan, beberapa waktu lalu penyidik sudah melakukan pelimpahan tahap pertama dan dikembalikan jaksa dengan permintaan agar penyidik Tipikor Polda Sumut melengkapinya.

Lantas, Dedy menyebut, setelah dilengkapi, penyidik kembali melakukan pelimpahan tahap pertama kedua kalinya namun berkas itu kembali ditolak jaksa.

"Sudah turun memang P19 kedua, setelah kita limpahkan kembali pasca dikembalikan jaksa tempo hari. Jadi, saat ini lagi-lagi masih kita lengkapi. Hanya perlu menambah keterangan saksi. Minggu depan ini dikirim kembali," jelas Dedy.

Informasi sebelumnya, Penyidik Tipikor Polda Sumut, pada akhir Januari 2017 telah mengirimkan berkas tahap pertama dugaan penyelewengan voucher BBM operasional truk dinas kebersihan ke jaksa. Namun, oleh Jaksa, berkas tersebut dinyatakan tidak lengkap dan dipulangkan kembali.

Dalam kasus itu, penyidik Tipikor Polda Sumut menetapkan enam orang sebagai tersangka penyelewengan voucher BBM di Dinas Kebersihan Kota Medan. Keenam tersangka yang dimaksud ialah HF (kabid operasional), AS (pegawai), HSP, MKHH dan MI (pegawai honor), serta SW (pegawai SPBU).

Polda Sumut sendiri menetapkan sejumlah tersangka terkait manipulasi vocher BBM 220 kendaraan operasional pengangkut sampah milik Dinas Kebersihan Kota Medan. Dalam prakteknya, setiap kendaraan seharusnya mendapat voucher BBM sebanyak 25 liter. Namun, oleh oknum yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu, vocher tersebut diganti dengan uang senilai 100 ribu, bekerjasama dengan operator SPBU Pinag Baris yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Ironisnya, praktek illegal yang telah merugikan negara hingga miliyaran rupiah itu telah berlangsung sejak tahun 2014 dan baru terungkap akhir tahun 2016 lalu.