BANDA ACEH – Komisioner Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Afridal Darmi mengatakan, kesempatan politikus melakukan politik uang dalam pilkada semakin besar ketika seluruh stakeholder tidak ada yang berani melaporkan pelanggaran itu.

“Saya duga ini yang lemah di kita,” kata Afridal kepada peserta Diskusi Haba Pilkada yang digelar The Aceh Institute di Media Center KIP Aceh, Kamis, (23/2/ 2017).

Baca Dugaan Politik Uang Pilkada Bireuen Harus Diusut Sesuai Hukum Berlaku

Diskusi kelima itu mengangkat tema Money Politic: Legalisasi Praktik Korupsi. Dua puluhan orang dari berbagai latar belakang hadir dalam diskusi tersebut. Afridal juga menjelaskan cara-cara permainan haram yang dilakukan paslon untuk menaikkan suara dalam pilkada.

Baca Tim Saifannur Bantah Tudingan Teror Saksi Pelapor Politik Uang

Bagi pelaku politik uang, kata Dia, memang ada sanksinya, namun politik uang tetap terjadi karena sanksi yang diberikan dinilai ringan. Menurutnya, sanksi untuk pelaku politik uang ialah skorsing, tidak ada sanksi pidana.

Baca Panwaslih Sebutkan Pelapor Kasus Politik Uang di Bireuen Diteror

Ketua Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mengatakan, salah satu penyebab terjadinya politik uang di masyarakat ialah karena pengaruh ekonomi warga yang belum sejahtera dan pendidikan yang rendah.

Beberapa laporan yang diterima MaTA, pelapor politik uang mendapat ancaman ketika hendak melapor paslon bersangkutan ke panwaslih. “Ancaman ini membuat publik takut dan tidak berani melaporkan aksi money politic. Harusnya pelapor itu dilindungi. Panwas juga jangan membocorkan,” ujar Alfian.

Baca Jika Tanpa Saksi, Kasus Politik Uang Pilkada Bireuen Dihentikan

Secara demokrasi, dampak dari suburnya politik uang berpengaruh negatif terhadap satu negara. Karena itu, partai politik harus hadir dalam pendidikan politik yang bernuansa positif.

Komisioner KIP Aceh, Junaidi mengatakan, politik uang sama dengan memberi suap. Pihaknya dari awal selalu mengajak seluruh masyarakat untuk aktif mengawal tahapan pilkada sehingga para calon kepala daerah tidak bebas melancarkan politik uang.

“Jika seseorang memilih dengan dipengaruhi oleh uang, ia menghianati kesaksiannya. Misalnya, seseorang tidak yakin pada calon kepala daerah, tapi ia memilih calon itu karena sudah diberikan uang, walaupun calon itu tidak sesuai nurani dia,” ujar Junaidi.