JAKARTA - Bertepatan dengan milad ke-39 Masjid Raya Istiqlal, penting rasanya untuk mengingat kembali sejarah pembangunan masjid yang terletak di jantung ibu kota ini.
Tujuannya untuk memperteguh kembali nilai-nilai yang terkandung di balik perjalanan panjang berdirinya Istiqlal.

Kata pluralisme menjadi salah satu nilai utama dari keberadaan Istiqlal. Masjid yang mulai dibangun pada Agustus 1951 ini sangat kental dengan nilai-nilai pluralisme.

Tidak hanya karena perancangnya yang tak lain Frederich Silaban, seorang Kristen Protestan, tapi juga letaknya yang berdampingan dengan Gereja Katedral Jakarta. Ini semakin mempertegas Indonesia sebagai negeri yang mampu merawat keberagaman dan perbedaan.

"Kenapa Istiqlal dibangun di sini bukan di Tanah Abang? Untuk memberikan suatu tekanan dalam toleransi beragama. Di depannya Katedral, di sebelah sana gereja besar," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberikan pidatonya dalam perayaan Milad ke-39 Masjid Raya Istiqlal, Rabu (22/2) semalam.

Masjid besar yang berlokasi di Jalan Katedral, Jakarta Pusat ini menjadi panutan bagi masjid lainnya. Perannya semakin berkembang seiring bergeraknya roda waktu dan zaman yang makin maju. Fungsi masjid harus disesuaikan dengan perubahan zaman.

"Harus memberi ketauladanan dengan contoh-contohnya. Fungsi sosial, pertemuan dan acara-acaranya harus dijalankan dengan tanggung jawab," kata JK.

Wapres kembali mengingatkan agar masjid menjadi tempat yang menyejukkan bagi umat muslim dan masyarakat. Masjid juga ikut bertanggungjawab atas perubahan sosial kemasyarakatan. Sebab, tuntunan hidup bermasyarakat datang dari masjid melalui dakwah yang menyejukkan hati.

"Masjid tanggung jawabnya kepada masyarakat tidak ke pemerintah. Harus bisa membedakan antara munkar dan makar, kalau perilaku yang korup itu munkar kalau menggulingkan sesuatu nah makar itu. Tidak bisa diterima," katanya sambil tertawa. (mdk)