JAKARTA - Kebijakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaktifkan kembali terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta telah menimbulkan kegaduhan politik.

Dikutip dari merdeka.com, sejumlah fraksi di DPR sepakat mengusulkan penggunaan hak angket kepada Presiden Joko Widodo. Mereka menamakan hak angket ini sebagai Ahok Gate.

Di tengah kegaduhan pengangkatan kembali Ahok, Mendagri Tjahjo Kumolo menjelaskan pertimbangannya. Ahok belum diberhentikan karena jaksa penuntut umum menyertakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a KUHP dan Pasal 156 KUHP. Dengan adanya dakwaan alternatif, otomatis berdampak pada ancaman hukuman terhadap Ahok. Sebab, dua dakwaan itu memiliki perbedaan ancaman hukuman. Atas dasar ini, Tjahjo akhirnya mengangkat kembali Ahok sebagai Gubernur DKI. Tjahjo akan menunggu sampai Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyampaikan tuntutan sebelum memberhentikan Ahok.

''Lho kalau kemarin kan harus, dia cuti karena kampanye, selesai cuti dari pak Soni kita serahkan lagi ke pak Ahok. Soal putusan yang tadi Anda tanyakan, ya itu sikap Mendagri,'' tegasnya.

Sejumlah fraksi di DPR menuding Mendagri melanggar aturan. Kemendagri melanggar Pasal 83 Ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Tjahjo langsung bereaksi. Kemendagri memilih berkonsultasi terlebih dulu dengan Mahkamah Agung terkait pasal pemberhentian Basuki T Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Selasa (14/2) pagi besok. Langkah ini diambil karena ada perbedaan tafsir hukum atas pencopotan Ahok.

''Kami mau inventarisir semua masalah, kami baru pertama kali pengalaman saya menandatangani surat pemberhentian kepala daerah maupun tidak diberhentikan kasus sebagai terdakwa atau tidak, baru ini ada alternatif. Apakah ini salah atau benar? Semua orang punya tafsir, maka dari itu kami minta kepada MA yang lebih fair,'' kata Tjahjo.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga disebut-sebut tak mau ikut berpolemik terkait kembalinya Ahok sebagai Gubernur DKI. Saat bertemu dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Jokowi mengakui bahwa polemik Ahok ini multi tafsir. Karena itu, Jokowi menyerahkan tafsir tersebut kepada Mahkamah Agung.

''Bahkan Presiden sendiri betul-betul memahami menyadari banyak tafsir itu bahkan beliau meminta Mendagri untuk minta pandangan resmi dari MA. Nah kalau sudah ada pandangan resmi MA, maka laksanakan apa yang menjadi pandangan resmi itu,'' kata Haedar usai bertemu Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/2) kemarin.

Bergulirlah 'bola panas' pengangkatan kembali Ahok ke gedung Mahkamah Agung. Selasa (14/2) pagi, Tjahjo menyambangi Gedung MA untuk menemui Ketua MA Hatta Ali untuk minta dikeluarkan fatwa terkait status Ahok. Namun, Hatta Ali tengah sibuk sehingga surat permintaan pengajuan fatwa dititipkan ke Sekretariat MA.

''Intinya satu bahwa tadi pagi yang tadinya saya mau menyerahkan langsung tapi bapak ketua MA sedang ada paripurna MA maka surat saya tinggal ke sekretariat. Makanya saya tadi hanya melaporkan itu saja,'' kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Tjahjo merasa perlu meminta Fatwa yang bertujuan memberikan jalan keluar bagi status Ahok. Sebab, timbul pro dan kontra terkait Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

''Yang intinya kami minta mohon keluarkan fatwa MA terkait apakah kebijakan yang saya ambil, yang kemudian munculnya beberapa pendapat yang berbeda maupun yang sama. Saya menghargai itu semua maka kami mengajukan fatwa ke MA,'' ujarnya.

Gayung tidak bersambut. Mahkamah Agung menegaskan sikap tak ingin diseret-seret dalam polemik pengangkatan kembali Ahok sebagai gubernur DKI. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menegaskan, polemik tersebut seharusnya bisa dibahas secara internal di Kementerian Dalam Negeri dengan staf bagian hukum.

''Seyogyanya di Kementerian Dalam Negeri kan ada bagian hukumnya juga, silakan dibahas,'' ujar Hatta Ali.

Hatta juga tak merespons permintaan fatwa yang diajukan Kemendagri. Alasannya, proses hukum Ahok masih berjalan dan dia khawatir adanya fatwa mengganggu independensi hakim dalam memimpin persidangan kasus penistaan agama. Terlebih lagi, fatwa bersifat tidak mengikat hanya sekedar pandangan dari sebuah lembaga yang dianggap berkompeten dalam sebuah permasalahan.

''Mahkamah Agung dalam pemberian fatwa harus hati hati, kita harus mempertimbangkan dampak positif dan negatif. Kita juga harus menjaga independensi hakim yang menyidangkan karena fatwa juga sifatnya tidak mengikat,'' ujarnya.***