JAKARTA - Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mendesak agar usia hakim agung yang akan mencalonkan atau dicalonkan sebagai calon Ketua Mahkamah Agung (MA) dibatasi.

Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Bambang Soesatyo, menilai reformasi di tubuh lembaga tertinggi peradilan tersebut akan lebih efektif jika dipimpin ketua yang dapat menuntaskan jabatannya selama lima tahun penuh.

"Jadi, seharusnya calon ketua maksimum usia 65 tahun," kata Bambang kepada Tempo, Senin, 13 Februari 2017.

Menurut Bambang, MA memerlukan pemimpin baru yang bisa menyelesaikan masalah-masalah laten di lembaga tersebut. Beberapa di antaranya, dia mencontohkan, minimnya transparansi manajemen perkara, pengkerdilan peran hakim agung dalam penentuan kebijakan dan peraturan internal peradilan, serta dugaan kolusi dan nepotisme dalam proses mutasi hakim.

"Kondisi internal MA saat ini tak ideal akibat salah kelola,” kata Bambang.

Para hakim agung akan menggelar sidang pleno pemilihan Ketua Mahkamah Agung hari ini, Selasa, 14 Februari 2017. Pemilihan digelar menjelang akhir masa lima tahun jabatan Hatta Ali yang didapuk sebagai Ketua Mahkamah Agung sejak 1 Maret 2012.

Namun beredar kabar bahwa para hakim agung akan kembali memilih Hatta karena masih berusia 67 tahun, menyisakan tiga tahun sebelum batas usia pensiun 70 tahun.

DPR sebenarnya pernah menggulirkan wacana membatasi usia calon ketua menjadi 65 tahun dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Alih-alih membatasi, Senayan justru memperpanjang usia pensiun hakim agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Senada dengan Bambang Soesatyo, juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wadji, menilai penting regenerasi kepemimpinan di MA untuk mempercepat proses reformasi peradilan.

Menurut dia, batas masa jabatan ketua yang hanya lima tahun seharusnya menjadi momentum bagi mekanisme koreksi. Para hakim agung, kata Farid, harus memperhatikan rekam jejak calon dan rapor MA selama ini.

"Cek, apakah memang ada perubahan penilaian masyarakat terhadap dunia peradilan?" kata dia, Senin, 13 Februari 2017.

Koalisi Pemantau Peradilan menilai reformasi MA jalan di tempat selama kepemimpinan Hatta Ali. Anggota Koalisi, Ali Reza, mengatakan MA membutuhkan sosok pemimpin baru yang berintegritas dan memiliki visi perbaikan pada lembaga tersebut. Karena itu, dia berharap hakim agung tidak memilih calon yang akan pensiun kurang dari lima tahun.

"Proses seleksi seharusnya juga terbuka, sehingga bisa dipantau masyarakat," ujar Reza.

Hakim agung Gayus Lumbuun mendesak Hatta Ali agar memaparkan pencapaiannya kepada seluruh hakim agung sebelum proses pemungutan suara. Dia sepakat keputusan memperpanjang masa jabatan Ketua MA harus terukur dalam nilai kinerja, tak semata berdasarkan tradisi.

Meski demikian, Gayus pesimistis lantaran proses pemilihan akan berlangsung sangat tertutup dan menggunakan mekanisme sidang pleno. Menurut dia, mekanisme ini berarti seluruh acara akan berada di kendali pemimpin sidang dan tak boleh ada interupsi. "Harusnya ada mekanisme pemilih untuk menggali profil calon dan penelusuran rekam jejak," kata Gayus.

Ketua MA Hatta Ali tak menanggapi pertanyaan. Namun juru bicara MA, Suhadi, mengatakan lembaganya akan tetap menggunakan mekanisme sesuai dengan aturan yang ada, yaitu tanpa batasan usia.

Dia menilai nama Hatta akan tetap masuk sebagai calon karena keputusan berada di tangan para hakim agung. "Kalau memang masih dipercaya untuk memimpin," katanya. ***