JAKARTA - Fraksi PKS DPR RI resmi menggunakan Hak Angket tentang Pengangkatan Kembali Basuki (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menilai pengangkatan ini mengundang kontroversi publik karena status Ahok berstatus terdakwa.

"Sehingga, hal ini akan bertentangan dengan undang-undang dan menciderai Indonesia sebagai negara hukum," ujar Jazuli melalui siaran pers yang diterima redaksi GoNews.co, Senin (13/2/2017).

Diketahui, selain Fraksi PKS, Hak Angket juga diusung oleh Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PAN. Menurut Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, DPR perlu merespon kritik yang meluas di masyarakat atas pengangkatan Saudara Ahok tersebut. Sehingga, cara yang paling tepat dan konstitusional untuk mempertanyakan itu adalah menggunakan Hak Angket DPR.

"Fraksi PKS bersama Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PAN resmi menggunakan Hak Angket Dewan ini agar Pemerintah bisa menjelaskan kepada publik tentang landasan hukum pengangkatan kembali Saudara Ahok, sehingga jelas dan tidak ada kesimpangsiuran," terang Jazuli

Selanjutnya, inisiator akan menggalang dukungan Anggota DPR lintas Fraksi agar Hak Angket ini dapat segera diproses secara kelembagaan DPR.

Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.

Diketahui, berbagai pihak mulai tokoh masyarakat hingga pakar Hukum Tata Negara menilai pengangkatan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, memiliki cacat yuridis karena bertentangan dengan Pasal 83 Ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Bunyi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) itu adalah:

1.Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

3. Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Berkenaan dengan itu, status Ahok saat ini adalah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun.

"Pemberhentian sementara ini juga bukan kali pertama tapi sudah lazim dilakukan sebelumnya, seperti kasus Bupati Bogor, Gubernur Sumatera Utara, Gubernur Banten, Wakil Walikota Probolinggo, Bupati Ogan Ilir, Bupati Subang, dan lain-lain. Semuanya diberhentikan tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa. Tanpa harus menunggu dan bergantung pada tuntutan (requisitor) yang diajukan Jaksa di persidangan," pungkasnya. (rls)