JAKARTA - Keterlibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana teorisme menurut DPR RI, bukan dalam ranah kiminal atau criminal justice, melainkan di ranah yang memang menjadi kewenangan TNI dan tidak bisa ditangani oleh kepolisian.

Hal itu sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju seperti Perancis, Jerman, Amerika Serikat dan lain-lain dimana militer terbukti lebih cepat dalam menangani ancaman terorisme tersebut.

Demikian disampaikan Sekretaris Fraksi Golkar DPR RI Agus Gumiwang Kartasasmita ketika berdialog soal revisi UU Terorisme dengan 'Koalisi Masyarakat Sipil' yang terdiri dari Imparsial (Al A’raf), Lingkar Madani (Ray Rangkuti) dan lain-lain di Gedung DPR RI Jakarta, pada Kamis (9/2/2017).

Dari FPG hadir antara lain anggota Pansus RUU Tindak Pidana Terorisme, Andi Rio Idris Padjalangi, Ahmad Zacky Siradj, Bobby Adhityo Rizaldi, dan anggota Komisi III DPR RI Adies Kadir.

Namun lanjut Agus Gumiwang, pelibatan TNI tersebut yang memiliki kewenangan untuk memutuskan adalah Presiden RI. Demikian pula yang bertanggung jawab adalah Presiden RI. "Jadi, yang memutuskan pelibatan TNI itu menjadi kewenangan dan yang bertanggungjawab adalah Presiden RI," ujarnya.

Bobby menegaskan jika pelibatan TNI itu tidak dalam criminal justice dan memang ada ranah-ranah yang harus dikoordinasikan dengan TNI di beberapa titik. Dimana titik-titik yang rawan dengan potensi kekuatan senjata yang kuat tersebut misalnya di Aceh, Papua, Ambon, dan Poso Sulawesi Tengah.

Selain itu Golkar mendukung penguatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang selama ini kurang maksimal karena fasilitas dan infrastrukturnya terbatas. Khusus peran BNPT tersebut Golkar mengusulkan diatur pasal tersendiri dalam RUU Terorisme ini. "BNPT perlu diperkuat dan masuk dalam pasal tersendiri dalam RUU Terorisme ini," kata Bobby.

Sedangkan mengenai ujaran kebencian (haat speech) kata Bobby, sifatnya yang menyerang atau mendeligitimasi kewibawaan pemerintah. Bukan yang bersifat umum kepada masyarakat, karena untuk masyarakat ini sudah diatur dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan KUHP. Mengapa? "Bahaya kalau negara kehilangan kepercayaan dan kewibawaan dari masyarakat," tambah Bobby.

Sementara itu mengenai sanksi pencabutan WNI bagi yang terbukti melakukan tindak pidana terorisme tersebut, Golkar sepakat menolak sanksi ini, karena bertentangan dengan konvensi internasional. Apalagi warga negara Indonesia tidak memiliki dua kewarganegaraan.

"Kalau di luar negeri bisa saja karena mereka memiliki dua kewarganegaraan," pungkasnya. ***